***
Hari ini di SMA NUSA HARAPAN. Semua siswa menjalani rutinitas seperti biasa. Di kelasku sedang berlangsung mata pelajaran kimia, dengan ibu Tifany yang sedang bersiap membuka pelajarannya, ya dia telah pulang dari umroh.
Mata pelajaran kimia di sambut dengan kericuhan dari arah belakang, si Aji dan kawan-kawannya mulai berulah lagi, mereka memanglah geng anak bandel, dan mereka tak pernah mau diem kalau di kelas. Pasti setiap pelajaran berganti, ada saja kerjaannya, selain teriak-teriak main game yang ricuhnya kaya nonton bola di stadion, rasanya nih kuping bisa pecah deh kalau dah ngedenger mereka teriak.
Hari berlalu begitu saja pada hari ini. "Eh iya, besok ada ulangan ya!," ujarku memecahkan keheningan. "ulangan apaan, njir?," ujar Toro sedikit nge-gas. "Itu lho mapel fisika," balasku. "Pa Afgan ya?," tanya Aria. "Iya," jawabku. "Anjirrr... Pr aja belum," ujar fais. "Hmmm... makanya jadi orang kaya gue udah dong," ujarku sedikit sombong. "Hmm... iya deh lu mah pinter Ran," Timpal fais.
Jam istirahat kedua berbunyi, saatnya melaksanakan sholat dhuhur berjamaah. Bel itu mengakhir percakapan ngawur kita. "Eh... ayu lah sholat," ajakku pada fais dan aria yang sedari tadi menghadap HP mereka masing-masing setelah menaruh buku mapel kedalam tas mereka. "Duluan aja deh," ujar fais.
"lagi nanggung nih," timpal aria.Setelah sholat selesai. Aku mendapati adel sedang merintih di depan masjid sekolah. Aku langsung mendekatinya dengan rasa khawatir. Aku pun tak paham mengapa rasa khawatir ini lebih dari apapun.
"Kenapa del?," tanyaku spontan. "Ini ka pas selesai sholat keseleo pas turun tangga," ujarnya dengan meringis kesakitan. "Kakak anter ke UKS atau ke kelas ya?," tawaranku padanya, rasanya saat itu aku sudah tidak bisa mengontrol khawatirku padanya, bahkan aku tak sudi bila ada kerikil yang membuat kakinya bertambah kesakitan. Buset bucin banget dah. "Gak usah ka, aku bisa kok," ujarnya.
Dia berusaha berdiri sambil menenteng mukenah ditangan sebelah kiri. Ya, sudah aku pastikan dia hampir terjatuh. Dasar keras kepala. Tanpa harus pake rumus pythagoras, aku langsung mendekatinya dan siap menggendongnya. "Ayo naik," ujarku. Emang gak sopan sih tapi mau gimana lagi udah terlanjur.
"Sekarang ka," ujarnya gelagapan. "Iyalah masa besok, cuma sampe UKS aja deh, setelah diobatin sama anak PMR aku suruh temen kelas kamu jemput nanti," ujarku. "Hmmm...," dia hanya mengangguk dan naik kepunggungku.
Sesampainya di UKS, aku menurunkan adel dan mengganti posisi membawanya dengan menggandeng. Disana ada Kristina anak PMR yang jaga setiap istirahat kedua. Itu karena dia salah satu anak PMR yang agamanya kristen. Sebenarnya masih ada sih, cuma hari ini dia gak masuk sekolah.
"Tin," sapaku pada cewek dengan anak rambut diikat satu. "Eh... lu Ran ada apa?," tanyanya. "Ini si adel katanya kesleo, aku titip dia ya. Obatin takutnya ada pergeseran tulang. Memarnya dikompres," cerocosku.
"Ini yang anak PMR gue apa lu sih," ucapnya sedikit nge-gas. "Ya maaf, eh aku tinggalnya," ucapku. "Lah kok ditinggal?," tanyanya. "Aku mau panggil temen kelasnya," ucapku dan berlalu tanpa mengucapkan sepatah katapun pada adel. Namun yang jelas senyum manisnya merekah, aku melihatnya dari cermin di ruang UKS yang mengarah pada adel.
Aku bergegas menuju kelas adel dan menyusul teman kelasnya untuk menjemput adel di UKS. Aku masuk ke kelas X MIPA 3. Didalam sedikit lengang, "maaf temen sebangku adel siapa ya?," tanyaku pada seorang gadis diujung kelas dekat pintu. "Eh... ka Randju itu ka... anu si Delia," jawabnya sedikit gugup. Aku memang menanyakannya secara spontan saat dia menatap buku novel setebal 400 halaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Gantung Harapanku di Sebatas Patok Tenda
RomanceMenjadi senior tak membuat diriku semena-mena. Cerita cinta masa remaja, membuatku merasa memiliki hal aneh terutama masalah perasaan, sakit hati untuk pertama kali bahkan rasa dari cinta pertama yang sulit dihilangkan. Namanya Ria, adik kelasku, ci...