□□□
Pagi di SMA NUSA HARAPAN. Siswa lain ramai, si anak madesu sedang asik nongkrong di parkiran. Ya, siapa lagi kalau bukan aji dan kawan-kawan.
Aku sengaja datang lebih pagi, karena aku hendak mengembalikan uang milik ria kemarin. Aku merasa gak enak aja nerima uang dari adik kelas, cewe lagi.
Aku menunggunya di depan gerbang. Namun sampai sekarang belum datang juga. Ini sudah 10 menit aku berdiri dan mondar mandir. Sampe aria datang.
"Woy ran," sapa aria dengan nada khasnya. "Lagi nungguin apaan si?," ujar aria melihatku hanya clingak-clinguk gak jelas di depan gerbang.
"Kepo banget sih ya," ujarku sambil ngeliatin aria yang ikutan clingak-clinguk. "Nah itu dia orangnya," setelah menunggu dan hampir saja gerbang ditutup.
"Oh lagi gebet adik kelas nih ceritanya," ujar aria lugas. "Enggak ya aria sukmana," sambil menekan nada bicara dan pastinya mencubit pinggang aria si kepo itu. "Jangan kenceng-kenceng lain kali," ujarku mengancam sebelum ria menghadap didepanku.
"Hai ri," ujarku membuka percakapan dan melambaikan tangan. "pagi ka," sapanya lembut. "Pagi," ujar aria tersenyum centil. Aku menatapnya sinis.
"Ada apa ya ka?," dia bertanya penasaran. "Ini mau ngembaliin uang kamu yang kemarin," ujarku sambil menyodorkan uang pecahan 20 ribu persis yang seperti nominal yang kemarin ria berikan.
"Kenapa dibalikin ka," ujarnya. "Kan aku udah bilang ikhlas," sambungnya. "Gak papa aku gak bisa janji bakal ngasih apa nanti sebagai balas budi jadi mendingan aku kembaliin aja deh," jelasku. Dia bingung. "Please diterima ya," aku menguncupkan kedua tangan tanda memohon.
"Lain kali bakal diterima untuk kali ini maaf kakak gak bisa," dia masih terdiam. "Kakak harap kamu ngerti," sambungku.
"Ya udah deh ka, makasih ya," ujarnya. "Harusnya kakak yang bilang makasih karena udah bantu kakak,". "Oh iya ka, itu udah bel, masa sih mau berdiri disini aja," ujarnya sambil menunjuk arah atas agar aku mendengar bunyi bel itu. "Oh iya, ya udah hati-hati ya ke kelasnya," ujarku.
Ria pun berjalan menjauh meski masih menoleh kearah aku dan aria. Aria hanya bisa senyum-senyum gak jelas. Dia sadar ada yang aneh dari sikap aku. "Kenapa sih ya, kok liatnya gitu amat," ujarku penasaran. "Gila temen gue udah gede ternyata," ujar aria dengan wajah takjub.
Kami berdua masuk ke kelas dan memulai pelajaran seperti biasa.
***
Bel istirahat berbunyi, aku segera membereskan buku dan ya pikiran ku masih belum terkonsen entah susah sekali melupakan rasa sakitnya. Rasanya hari ini mood-ku kembali belum pulih sempurna.
Untuk butuh waktu menyendiri, aku pun memutuskan untuk menuju perpustakaan, ya, sekedar baca novel romance yang kemarin menarik minat bacaku.
Belum juga pantat nyentuh sama kursi setelah ngambil buku. Diluar malah ribut. Ya, musuh bebuyutan saling hajar dan gak kenal tempat.
"Sini lu anjingggg!," teriakan itu berhasil membuatku berdiri kembali dan keluar menuju ambang pintu perpustakaan.
Musuh bebuyutan siapa lagi kalau bukan ihza dan izal, sejak kelas X tahun lalu sebelum kenaikan kelas mereka sudah dianggap musuh abadi gak ada kata akur.
Dulu mereka biasa berdua, kini justru dipisahkan oleh presepsi yang berbeda, semenjak Izal memutuskan untuk keluar dari tim futsal sekolah semuanya jadi berbeda. Termasuk kisah persahabatan mereka dulu, waktu smp kata temen temen deket mereka, mereka udah lebih kaya saudara gak bisa dipisahin.
Memang ya keadaan berhasil mengubah segalanya, dan waktu dengan hebat berhasil membalikan keadaan semaunya.
Ihza kini makin hari makin romantis dengan pasangannya sekarang si Bulan. Ya, dia sudah putus dengan shilvana. Sedang izal fokus dengan usahanya sekarang.
Entah aku tak tau masalah apa lagi tentang Ihza dan Izal kali ini. Yang jelas keributan ini membuat orang berkerumun di depan perpustakaan.
Setelah keributan berhasil diredakan. Mereka berdua dipanggil di ruang BK bersama kak hadi sebagai saksi disana.
Aku hanya berdiri menatap seolah acuh dan tak perduli. Entah apa ini masih ada kaitannya dengan sakit hati yang membekas ini. Aku pun tak tahu.
Aku kembali masuk kedalam perpustakaan dan menaruh buku yang sedari tadi ada ditanganku. Ya jam pelajaran akan segera kembali dimulai, tanpa sempat aku baca buku tadi.
Tiba-tiba ria datang dari belakang. "Ka aku takut," ujarnya sambil menggandeng tanganku. Aku tak terbiasa dengan itu, maka aku putuskan untuk segera melepaskannya. Bego.
"Emang kamu kenapa?," tanyaku setelah melihat wajah ria yang memucat sepertinya dia benar-benar syok. Dia kenapa? Aku pun tak tau.
"Aku gak biasa liat orang berantem ka," ujarnya yang membuatku menyimpulkan bahwa ria amat trauma saat melihat orang berkelahi.
Ini jelas berbeda sekali denganku yang sudah terbiasa dengan berdebatan bahkan cek cok. Atau melihat orang berkelahi. Lumrah saja. Toh keluargaku juga broken home.
"Kamu minum dulu ini?," ujarku sambil menyodorkan air mineral kemasan miliku yang sedari tadi ada di meja perpustakaan.
Tanpa aba-aba dia langsung meminumnya dan dia mereda. "Makasih ka," ujarnya sambil nafas yang masih terengah-engah. "Sekarang coba kamu tarik nafas," ujarku kemudian disusul gerakan menarik nafas. Ria mengikuti saranku.
"Tarik nafas dan buang," ujarku pelan. Dia tetap mengikuti perkataanku.
"Sekarang udah tenang," ujarku. Dia masih terlihat gugup. "Ini minum lagi," ujarku menyodorkan air mineral yang awal dia minum. Dia meminumnya lagi. Belum ada kata yang keluar dari mulutnya, dia masih pucat aku tau itu.
"Biar kakak antar ke kelas ya," ujarku menawarkan diri. Dia hanya mengangguk, pertanda setuju. Ini beda dengan yang dilakukan adel. Adel pasti mengelak dulu. Tapi dia langsung menjawab setuju walaupun itu bukan ucapan tapi gerakan.
Aku memapahnya, memang jarak antara perpustakaan dengan kelas ria itu jauh. Ditengah perjalanan aku melihat adel sedang mengobrol dengan temannya. Aku tak menyapa, dia pun hanya melihatku balik. Sesegera mungkin aku memalingkan muka saat kita saling menatap. Dia terlihat baik-baik saja setelah kejadian itu.
Adik kelas lain pun hanya memandangi kami, termasuk marveil, dia hanya diam.
Sesampainya dibangku tempat duduk ria. Dia masih terlihat gugup, entah trauma apa yang dia pernah alami, sampai-sampai dia terlihat begitu pucat sekali. Aku tak enak bila menanyakan hal itu sekarang. Yang pasti buat dia tenang dulu, begitu pikirku.
Teman sebangku ria, Natalie langsung mendekati temannya itu. "Ri lho kenapa?," ujarnya sambil mengguncang pundak Ria yang terlihat masih lemas. "Dia kenapa ka?," dia bertanya kepadaku. Natalie bener-bener khawatir dengan teman sebangkunya itu. Dia teman yang baik.
"Dia syok ngeliat orang berantem tadi," ujarku jujur pada Natalie. "Ri minum ini," ujar Natalie memberikan air mineral yang tutupnya dia sudah buka. Aku inisiatif menangkapnya. "Dia udah minum banyak air, jadi mending kamu tenangin dia aja," ujarku.
Natalie begitu khawatir, dia hanya menurut perkataanku. Aku hanya sebentar menarik dia, dan mengajak ngobrol tentang keadaan ria.
"Kamu temen sebangkunya kan, kakak minta tolong jagain dia ya, bila perlu nanti kamu anterin pulang, kakak khawatir, dia masih lemes banget," ujarku. "Iya ka, nanat pasti jagain ria kok tenang aja," ujar Natalie.
"Kakak ke kelas dulu ya," ujarku pamit pada Natalie. Bel tanda istirahat selesai, sudah berbunyi 5 menit yang lalu. Aku takut ada guru di kelas. "Ri kakak kelas dulu, nat kamu jagain ria ya," ujarku meninggalkannya. Maski masih khawatir, aku takut dikelas sudah ada guru.
Short ending
Di part selanjutnya, kira-kira apa ya yang akan terjadi antara ria dan randju. Stay tune.
"Tetep jaga kesehatan, tetep jaga perasaan. Karena kadang rusaknya perasaan akan mempengaruhi kesehatan,"_ author.
See you:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Gantung Harapanku di Sebatas Patok Tenda
RomanceMenjadi senior tak membuat diriku semena-mena. Cerita cinta masa remaja, membuatku merasa memiliki hal aneh terutama masalah perasaan, sakit hati untuk pertama kali bahkan rasa dari cinta pertama yang sulit dihilangkan. Namanya Ria, adik kelasku, ci...