Surat Dari Masa Lalu

23 1 0
                                    

***

Hari ini adalah hari minggu, dan nenek menyuruhku membereskan kamar yang memang jarang sekali aku bereskan.

Aku berusaha membuang barang-barang yang sekiranya memang sudah tak terpakai lagi. Aku mulai membuang buku-buku saat aku SMA kelas X tahun lalu yang masih tersimpan rapih, meski terlihat sudah mulai tertutupi debu.

Untuk memastikan bahwa buku itu sudah tak terpakai, aku mencoba membuka lembaran demi lembaran buku-buku itu, takutnya masih ada pelajaran penting yang masih berkelanjutan di kelas XI.

Ku buka lembaran demi lembaran kertas kala itu, aku tak sengaja membuka lembaran yang terlipat rapih itu, yang berasal dari selipan buku novel setebal 400 halaman.

Aku memang suka membaca dan menulis sejak masih kelas 6 SD, berbagai macam tulisan aku tulis dengan indah meski isi tulisannya absolut.

Perlahan aku membaca kertas yang terlipat rapih itu, diatasnya terlihat tulisanku yang masih belum rapih kala itu.

Dear: Shilvana Anindya

Perkenalkan aku Randju Haryadi. Anak cowo eskul seni yang nekat masuk eskul itu cuma gara-gara cewe yang dia suka ada di eskul itu. Aku pecundang yang hanya bisa menerka wajahmu dari balik jendela kelas, saat aku hendak menuju koperasi.

Perasaanku kian membatin kala itu. Rasanya aku merasakan arti cemburu untuk pertama kalinya di SMA ini, kau memang cantik, aku tak bisa pungkiri itu. Kau memang layak bersamanya, yang memegang tanganmu saat berada di depan ruang kelas.

Aku turut bahagia, kau bahagia dengan Ihza. Ya, cowok famous seangkatan kita. Pemain inti dari eskul futsal.

Jika kau menanyakan apakah perasaan ini masih sama sampai detik ini? Aku hanya jawab iya. Aku tak bisa membohongi rasa apapun selama ini. Rasa suka itu wajar bukan?.

Jika aku berani, aku hanya bisa mengucapkan selamat pada Ihza, dia beruntung bisa mendapatkan kamu yang menjadi incaran semua pria. Shilvana, aku pernah berharap memilikimu meski, ya kamu tau lah, dalam mimpi. Tapi rasanya itu cukup.

Buat kamu Ihza jaga orang yang aku sayang ya, meski dia tak tau itu. Aku harap dia bahagia selalu denganmu. Titip dia, air matanya mahal. Ya, gak ada yang murah dari ciptaan Tuhan yang kupuji seperti dia.

~Pengagum Rahasiamu~
12 April 2019

Setelah selesai aku membaca setiap untaian kalimat yang tertulis. Aku merasa aneh dan cenderung salting sendiri di kamar. Seolah ada yang menarikku ke memori-memori menyakitkan kala itu, sesaat aku membaca bait pertama sampai tuntas.

Lepas selesai dengan bebersih kamar, tulisan itu kusimpan, ya bukan sebagai pertanda aku tak mampu menghapusnya dari ingatan, melainkan menyimpan kenangan yang pernah aku lewati, ya tentang bodohnya diri menjadi seorang pecundang dan memilih menjadi pengagum rahasia.

Aku flashback kejadian kemarin ketika aku mendengar kalimat penolakan dari adel. Kalimat itu melayang-layang silih berganti memasuki dan menyesaki ruang kepala yang tadinya kosong.

Ditemani sunyi ruang kamar yang sekarang lebih mending setelah dibereskan seketika berkamuflase menjadi ruang flashback yang amat kejam dan menyiksa. Ditambah lantunan sound lagu 'Putus Atau Terus'~milik Judika. Seolah menjadi backsound yang mantap untuk aku yang kembali kalah oleh cinta.

Akhirnya aku terlelap kembali, pulas aku membawa segala kenang itu dalam mimpiku yang semu. Beberapa detik berselang aku terbangun dan tersadar.

Aku tersadar bahwa hari ini ada tugas dan aku sudah berjanji pada Aria, Fais, dan Toro, untuk mengerjakannya bersama.

Aku bergegas menjemput handuk dan pergi menunaikan hajatku untuk mandi. Bersiap membawa buku dan perlengkapan untuk tugas fisika membuat miniatur tata surya.

Aku menghubungi aria dan diapun ternyata lupa. Ya, begitulah aria pelupa. Aku bergegas dan mengendarai motor retroku menuju rumah aria. Aku menjemputnya.

Kami berkumpul di taman, itu usulku. Ya, taman itu adalah salah satu taman yang pernah aku dan adel datangi saat pertama kali kita jalan berdua.

Lagi dan lagi aku tertarik memori kelam itu. "Woy ran mikirin apa sih?," tanya toro. "Eh gak mikirin apa apa kok," aku melamun ternyata hingga aku menjawabnya dengan terbata-bata.

Beberapa menit kemudian kita fokus menyelesaikan tugas ini. "Ini bolanya mau diapain lagi woy?," tanya Aria. "Di cat dulu aja, ya, soalnya nanti itu buat mataharinya," ujarku. "Terus yang ini gimana ran?," tanya toro. Aku kembali melamun. Rasanya begitu sakit rasa ini. Aku pun tak tau, mungkin karena ini adalah penolakan cintaku yang pertama.

"Kenapa sih lo ran?," tanya fais penasaran. "Eh enggak, lagi gak enak badan aja," ujarku menghindari pertanyaan lainnya. Tugaspun kami rampungkan. Tinggal dirapihin dan presentasi, setelah itu selesai.

Aku dan aria berjalan beriringan, sedangkan toro dan fais pulang duluan. Biasalah nge-game terus kerjaannya.

"Lho harus cerita sama gue ran, sebenarnya lho tuh kenapa?," ujar Aria. Dia paham akan keadaanku jadi tak mungkin segampang itu bisa aku bohongi. "Sebenarnya aku keinget kenangan aku sama adel, ya," ungkapku jujur. "Emang lho sama dia kenapa?," tanya Aria belum paham.

Sebelum aku menjawab itu,  aku menghembuskan nafas dalam dalam. Rasanya begitu sesak. "Kemarin dia nolak aku dan aku paham betul maksudnya," ujarku lesuh. "Ya gitu deh," ujarnya. "Maksudmu?," tanyaku tak paham.

"Kadang cewe akan memberi tanda bahwa lho gak cocok buatnya," ujarnya. "Maksud kamu adel gak suka dengan adanya aku, gitu?," tanyaku.

"Gak gitu juga sih, tapi lebih tepatnya, lho bukan untuk dia. Sadar saja, di dunia ini banyak orang yang akan kehilangan orang berharganya, ketika dia memutuskan bahwa dia adalah orang salah. Jadi lho gak perlu sedih. Lho bukan korban kok disini, lho juga bukan sampah, tapi lho lagi di buang orang yang anggep lho sampah padahal lho itu berlian buat orang lain," ujarnya.

Ya aku sadar, bukan hanya adel satu-satunya wanita di dunia ini. Aku paham maksud Aria. "Ya, kamu duluan aja ya pulangnya, aku masi mau disini," ujarku. "Ngapain?," ujarnya. Belum sempat aku membuka mulut untuk menjawab dia berucap lagi. "Mau ngucapin selamat tinggal gitu sama kenangan lho sama adel, itu gak perlu ran, karena justru itu buat lho malah makin sakit," ujarnya.

"Gak gitu juga ya," ujarku cepat. "Terserah lho deh ran, semua pilihan ada di tangan lho, tapi perlu lho inget dia bukan yang terbaik buat lho," ujarnya dan berlalu pergi.

***

Aku berjalan mengitari taman, dan kemudian membayangkan kenangan aku dengannya. Dan ya, betul apa kata aria, ini amat sakit. Aku terduduk dan menulis beberapa bait puisi, ya sebagai bukti bahwa rasa ini amat sakit dan susah untuk dihilangkan.

Setelah puisi itu rampung, aku memutuskan untuk pulang, ya aku tak ingin terlalu lama berada dalam lautan perih yang menyakitkan ini. Ditengah perjalanan pulang, aku tak sengaja bertemu dengan adel dan ria di jalan taman itu.

"Hai ka randju!," sapa ria ramah. Adel hanya terdiam dan menunduk. Ada yang beda dengan sikapnya. Aku paham, sulit untuknya membangun mood ketika bertemu dengan orang yang pernah dia tolak cintanya.

Kini sepertinya aku salah menemukan persinggahan. Aku salah memilih adel. Ya, aku lagi dan sekali lagi, ditarik pada memori kenanganku bersamanya itu rasanya sudah cukup melelahkan ritme perih nan sakit hati ini.

Short Ending

Hai!! Selamat membaca, dan stay tune next part-nya ya!

See you:)

"Sepi sudah terasa mungkin menjauh adalah kata yang pas untuk meninggalkan kenangan dan pergi perlahan,"_Randju Haryadi

Ku Gantung Harapanku di Sebatas Patok Tenda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang