Rasa Yang Sulit Dikatakan

18 2 0
                                    

☆☆☆

Esok harinya aku bangun lebih pagi dari biasanya, bersiap dan bergegas menuju sekolah dan kali ini aku menaiki motorku sendiri, 'motor baru'.

Aku dan aria sudah tak lagi berboncengan mungkin mulai hari ini, tadi malam aku mendapatkannya dari ayah tiriku, motor retro jadul keluaran 70-an. Aku pun membagikan hal ini kepada aria, dan dalam telpon itu dia bersyukur karena aku sudah bisa ke sekolah tanpa boncengan dengannya lagi.

Motorpun terparkir di tempat yang susah ada, sesampainya di dalam
sekolah, teman-temanku pun melirik kearah sana. "Wih, motor baru!," teman-teman kelasku menggoda.

Hari berjalan seperti biasa, waktu pun berlalu, dan bel pulangpun berbunyi.

Aku inget akan janjiku semalam kepada adel. Aku pun menyusulnya di kelasnya X MIPA 6, memang sedikit jauh sih. Disana masih ada  guru yang mengajar dan bergegas mengakhiri pelajarannya, ternyata itu adalah ibu Soraya, guru matematika.

"Hai adel!," sapaku setelah dia keluar kelas. "Yuk," tanganku meraih pergelangan tangannya secara refleks. "Kemana ka?," ujar adel sepertinya dia lupa. "Ke cafe Taria, kakak kan udah ngajak kamu tadi malam," ujarku.

"Ka kita pulang dulu ya, aku belum izin ke mamah," ujarnya dengan sedikit halus. "Ok," mengiyakan dan kamipun pergi menuju motorku di parkiran, dan pulang. Di jalan tak ada percakapan yang berarti bagi kami. Pemandangan kota yang ramai, serta lalu lalang kendaraan membuat kita terhanyut dan saling mengheningkan cipta. Udah kaya upacara aja!.

Tibalah kami di rumah bercat hijau khas ornamen rerindangan tumbuhan di sekitarnya, itu adalah rumahnya adel, motorpun berhenti tepat di depan rumah, kami di sambut oleh senyum hangat mamahnya adel.

"Assalamualaikum mah, adel pulang," dia menyalami tangan ibunya sesaat setelah pintu rumah itu terbuka. Terlihat sebelum adel masuk dia membisikan sebuah kalimat pada mamahnya itu.

"Assalamualaikum tante!," sapaku pada mamah adel dan menyalami tangannya. "Waalaikumsalam, eh teman sekolah adel ya, masuk dulu, yuk!," ujar mamahnya adel dengan ramah. "iya tante," sahutku seraya memasuki rumah yang terbilang sederhana dan sangat asri.

"Mari duduk," ujarnya sambil menjamuku di ruang tamu, disana terdapat banyak pajangan foto keluarga kecil itu. "Makasih tante," akupun duduk pada sofa yang ada. "Mau dibikin apa nih? biar tante buatin," ujarnya dengan ramah sekali lagi. "Gak usah tante," mengantung kalimatku. "tujuan saya kesini sih mau minta izin ke tante, mengajak anak tante adel untuk pergi ke cafe Taria, boleh enggak, tan?,"  sambungku dengan gugup memberanikan diri meminta izin pada mamahnya adel.

"Oh gitu, tante sih gak ngelarang kalian pergi, silahkan saja, tapi pulangnya jangan kemaleman ya, soalnya adel harus istirahat, kamu juga nanti pasti dicariin ya kan!," ujar mamah adel. "Iya tante, saya pulang dulu ya tante, nanti saya kesini lagi, assalamualaikum tan," ucapku dan pamit pulang, tak lupa juga menyalami tangan mamahnya adel.

Aku bergegas pulang dan mengganti pakaianku. Dan gak lupa mandi. ya kali, mau jalan sama cewek badannya masih kecut gini!. Dengan cepat aku bergegas menganti baju setelah mandi dan mencari nenek yang sedang ada di ruang tamu membaca  sebuah tabloid.

"Nek, Randju pergi dulu ya ke rumah temen, Andu janji gak pulang kemaleman lagi," ujarku pamit dengan nenekku. "Ya udah hati-hati jangan ngebut bawa motornya ya!," ujar nenekku, aku pun pergi pamit dengan menyalami tangannya. "Assalamualaikum nek," bergegas keluar rumah.

Ku Gantung Harapanku di Sebatas Patok Tenda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang