Pejuang Move On, Gagal Gak Ya?

2 1 0
                                    

_ . _

Akhirnya aku sudah terbiasa untuk tidak lagi menghubungi ria, terutama beberapa minggu belakangan. Entah, aku rasa kalian tau seperti apa rasa sakit hatinya dipaksa berhenti untuk mencintai seseorang tanpa sempat tau perasaan orang tersebut ke kita seperti apa.

Lagi pula, aku juga harusnya sudah terbiasa bukan justru masih belajar dalam melupakan, meski tau rasa sakitnya menyerah sebelum sempat bendera putih dikibarkan oleh kita sendiri.

Aku belum bisa mengungkapkan perasaan itu pada ria sebenarnya bukan tanpa alesan, rasanya setiap kali aku dekat dengannya, aku takut rasa kecewa datang untuk kedua kalinya setelah awal aku mendapatkannya dari adel.

Namun, justru kini sebaliknya, rasa sakit itu bahkan menjadi berganda, jika sudah seperti ini, akupun merasa kecewa pada diriku sendiri, karena dia sudah resmi dimiliki orang lain, dan tak ada lagi harapan untuk diriku dalam memilikinya.

***

Pagi ini, aku sudah terduduk di salah satu kursi di perpustakaan, ya, mau apa lagi kalau bukan hendak membaca buku.

Lagi pula guru mapel jam pertama pada hari ini sedang tidak hadir. Jadi aku memutuskan untuk pergi kesini. Dari pada gabut di kelas mending ke perpustakaan yang suasananya hening, terus tenang lagi.

Menurutku salah satu tempat di sekolah yang paling cocok untuk menyendiri adalah perpustakaan, selain nyaman karena ada AC, disana juga gak terlalu berisik, beda banget sama kelasku yang berisiknya pasti 24/7, gak pernah ada diemnya. Siapa lagi biang keroknya, kalau bukan si Angga dan antek-anteknya itu.

Setelah selesai membaca 1 buku kecil, aku kembali mencoba mencari buku novel atau kumpulan puisi klasik lain di antara rak buku yang terbaris rapih disana.

Entahlah, memang akhir-akhir ini aku sedang suka membaca yang seperti itu, ya selain gabut juga mungkin hanya sekedar hiburan belaka dari kelamnya masalah percintaan kupunya.

Belum sempat aku menemui buku dan novel yang akan ku baca di rak, aku tak sengaja mendengar percakapan beberapa siswi tentang hubungan ria dan alex.

"Eh... tau enggak, si ria sama si alex?," ujar salah satu siswi membuka percakapan. "Oh ria sama alex, yang jadian di lapangan bulan lalu kan?," tanya lawan bicaranya dengan intonasi memastikan.

"Iya, katanya nih ya, mereka tuh lagi berantem gitu, gegaranya si alex katanya ketahuan selingkuh gitu," ujar siswi yang membuka percakapan tadi. "Ih kok bisa gitu sih," ujar siswi disampingnya. "Ya gak tau," timpal lawan bicaranya lagi.

Aku memang berusaha untuk tak perduli. Aku bergegas mengakhiri acara menguping itu. Ya, mencoba sebatas tahu saja, selebihnya aku gak ingin perduli lagi. Terutama tentang ria atau utamanya si cowok barunya si Alex, alex itu.

Bel pelajaran berikutnya berbunyi, aku bergegas meninggalkan perpustakaan untuk kembali ke kelas. Ya, habis ini memang sudah ganti pelajaran. Apa lagi jam berikutnya itu jam ibu Merta. Aku tak boleh telat.

Belum juga sampai pada ujung pintu perpustakaan, aku berpapasan dengan ria yang membawa beberapa tumpuk buku di tangannya, dia hanya menunduk. Aku pun tak menyapanya. Kami seolah kedua orang saling tak mengenal.

Resmi sudah aku harus bisa menghilangkan dirinya dari ingatan. Meski kenangan itu begitu indah. Selanjutnya aku harus jalani hari-hari dengan rasa yang sudah terbiasa untuk melupa.

***

Bel pulang pun berbunyi. Aku melihat kak hadi sedang santay di depan ruang guru. "Hai kak," sapaku. "Eh ran, sini duduk," ujarnya menyapa ramah.

"Ada apa nih ka?," ujarku karena  bingung dia tumben sekali mempersilahkan aku untuk duduk, jadi aku bergegas mendekatinya, ya, takut ada hal penting yang akan dibicarakan, mungkin berhubungan denganku.

Ku Gantung Harapanku di Sebatas Patok Tenda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang