24.

158 20 5
                                    

Tiffany pulang dari kantornya pukul 4 sore, ia akan langsung naik ke kamarnya tanpa memperdulikan apapun. Ia masih sangat merindukan Taeyeon, ia juga merindukan Michelle yang sudah lama tidak ditemuinya meski secara teknis mereka tinggal dibawah atap yang sama.

Hari ini ia tidak melakukan apapun di kantor, hanya tanda tangan tanda tangan tanda tangan, lalu membaca kontrak dan memeriksa laporan-laporan. Tiffany tidak begitu familiar dengan lingkungan kantornya, itu makanya ia tidak pernah keluar ruangan jika tidak ada keperluan seperti ke ruang meeting atau jam pulang kerja.

"Steph?" Sebuah suara membuat Tiffany mengangkat kepalanya yang tenggelam dalam bantal karna ia menelungkup.

"Hey, kau lelah?" Michelle duduk di tepi ranjang Tiffany.

"Tidak juga, hanya bosan" jawabnya.

"Liburlah sehari, daddy akan memberinya. Tidak usah sekolah minggu besok"

"Why? I don't have something to do either, tak apa aku akan sekolah dan bekerja juga. Tidak sulit kok"

"Tapi anak-anak seusia mu ini seharusnya masih bermain dan hang out dengan teman-teman"

"Michelle, kau tau aku tidak bisa hidup normal disini. Aku tidak bisa punya teman, aku juga harus bekerja. Aku tidak bisa hang out sembarangan, daddy terlalu was-was akan banyak hal. Jika aku ingin hidup normal maka tempat itu adalah Korea" Tiffany mengecilkan suaranya pada kalimat terakhir.

"I know.. itu makanya aku sangat merasa bersalah dan minta maaf padamu"

"Sudah ku bilang tidak perlu, kalau bukan aku siapa lagi yang akan mewarisi semua ini. Aku hanya kadang merindukan Korea"

"Korea atau Taeyeon?" Goda Michelle.

"Tentu saja semua yang ada di Korea termasuk gadis jahat itu" Tiffany mengatakannya dengan kesal.

"Kau belum menghubungi Taeyeon?"

"Kurasa ia menghindariku, aku ingin bertanya ada apa tapi aku tidak bisa menghubunginya sama sekali. Bahkan teman-temanku yang lain juga tidak menjawab panggilanku. Sesuatu pasti terjadi"

"Daddy tidak melarangmu menghubungi mereka kan?"

"Anni, tidak ada yang aneh dari daddy. Sesuatu pasti terjadi pada mereka disana, dan aku tidak bisa kesana"

"Kau pasti sangat sibuk"

"Lumayan, semakin hari semakin sibuk. Aku harus menemukan suatu saat hari untuk aku berlibur menghamburkan semua uang-uang ini"

"Tentu kau harus. Jika tidak lelah, ayo kita dinner" ajak Michelle.

"Baiklah, kebetulan aku belum ganti baju"

"No no, ini baju kantor. Ganti dengan yang lebih seksi"

"Kau memang ada-ada saja" keluh Tiffany, tapi ia tetap berjalan menuju closet.

Tiffany dan Michelle akhirnya menghabiskan banyak waktu bersama setelah sekian lama. Tiffany menceritakan kesepiannya selama ini, dan Michelle merasa sedih mendengar adiknya. Ia tau, Tiffany tidak bisa memiliki teman seperti dulu, trauma masa kecilnya masih menghantui adiknya itu. Sekitar enam tahun lalu saat Tiffany berusia 11 tahun dan Michelle 17 tahun, ibu mereka ditemukan tak bernyawa tergantung di dalam atap rumah mereka. Tiffany tidak bisa menerima kenyataan dengan apa yang terjadi pada mommynya, ia melihat dari bawah saat kaki wanita itu menggantung  tak bernyawa.

Michelle tau itu akan menyebabkan banyak gosip dan cemoohan seluruh warga, ia berusaha sekuat tenaga menjaga adik kecilnya agar tidak terguncang lebih lagi. Leo yang saat itu berusia 16 tahun kabur dari rumah dan bersembunyi entah kemana. Daddy mereka terus bekerja seakan tak peduli. Maka sejak saat itu Tiffany adalah tanggungannya. Ia mengantar Tiffany sekolah sampai gadis itu masuk pintu depan, dan menunggu adiknya itu didepan pintu keluar agar mereka berjalan bersama ke mobil.

"Cobalah berteman, hanya satu. Kau hanya perlu satu, maaf aku tidak selalu bisa ada di sampingmu"

"It's okay Michelle, aku sudah bilang kan, aku baik-baik saja" Michelle menghela napas dengan lelah.

"Aku tau kau sakit, kau kesepian, kau tidak punya tujuan. Aku gagal menjagamu"

"No at all, kau kakak terbaik yang pernah anak malang seperti ku miliki. Semua salah keadaan, andai kita bukan terlahir dari keluarga ini.." gumam Tiffany menatap piringnya.

"Jika kau tidak lahir di keluarga ini maka aku bukanlah kakakmu"

"Anni, kau tetap kakakku. Kita akan lahir di keluarga yang sama" Michelle tergelak.

"Baiklah, mari berharap di kehidupan selanjutnya kita bersaudara di keluarga lain, hm?"

"Itu bagus" Tiffany tersenyum menunjukkan eye-smilenya

~~~~~~~~~~~~~~

"Bagaimana? Kau siap?" Hyoyeon merangkul Taeyeon yang berdiri dengan gugup.

"Kau yakin ini tak apa? Bagaimana kalau mereka mencabut beasiswaku jika aku lolos audisi"

"Ehey kau sangat percaya diri sekali, tapi tak apa, aku suka itu. Kau tak perlu khawatir, agensi akan mengurusnya jika kau lolos. Kau lihat Yoona? Dia sekolah dan hidup gratis di perusahaan" ujar Hyoyeon meyakinkan Taeyeon.

"Geure, huft.. jangan gugup" ujar Taeyeon pada dirinya sendiri.

Hyoyeon dan Taeyeon memutuskan untuk ikut audisi pada musim perekrutan kali ini. Yoona dan Sooyoung sangat yakin jika Taeyeon akan diterima sebagai trainee, dan mereka memaksa Taeyeon untuk ikut audisi. Disamping itu, Hyoyeon hanya mencoba peruntungannya untuk menemani Taeyeon yang tidak percaya diri. Tapi tetap saja, ia juga banyak berharap agar mereka bersama-sama lolos sebagai trainee.

"Bagus! Kalau begitu ayo kita masuk"

##############

My Fine WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang