IP 2 : Nenek Mertua✨

123 13 5
                                    

Suami? 

"Tapi aku bukan istrimu."

Kulihat pria yang sedang memegang tanganku itu mengerutkan kening dalam. Semoga saja dia percaya dengan apa yang aku ucapkan.

"Sayang, kamu bicara apa? Aku sangat tahu kamu jadi aku nggak mungkin salah mengenalimu istriku."

Aku mengerutkan kening dalam, "kalau kamu memang sangat mengenal istrimu itu, coba tatap aku dengan lekat. Apakah hatimu masih mengatakan hal yang sama?"

Kudekatkan wajahku ke arahnya, menatap tepat di bola matanya yang hitam itu. Aku berharap dia menyadari bahwa aku bukanlah istrinya. Aku tidak ingin tertebak dalam permasalahan ini, apalagi menyangkut rumah tangga yang pastinya di landasi dengan cinta.

Tanpa kuduga pria itu mendekat lalu menempelkan bibirnya tepat dikeningku. Mulutku terbuka lebar, kaget tentu saja. Kenapa respon pria itu malah mencium keningku? Padahal aku menatapnya dengan tatapan yang berarti 'aku bukan istrimu, jadi tolong pergilah dari sini.' tapi kenapa dia malah menciumku?!

Pandanganku mengedar keseluruh ruangan yang sat ini sedang di penuhi oleh beberapa orang. Mereka tengah menatap ke arahku, tepatnya ke arah kami dan dari sudut pandangku mereka terlihat sangat bahagia menyaksikan momen barusan.

Aku langsung mendorong jauh pria itu, "i-ini tidak benar. Lebih baik kalian pergi dari sini, saya ingin sendiri!!" jeritku. Saat ini aku tidak ingin di ganggu, aku sama sekali tidak mengenali semua orang yang ada disini.

"Tapi, sayang-"

"Pergi! Saya bilang pergi?!" bentakku sekali lagi, tidak ingin mendengarkan protes dari semua orang.

Satu persatu orang-orang itu pergi dengan wajah yang menyiratkan kesedihan. Aku tidak peduli, semua ini sangat membingungkan. Satu kecelakaan yang aku tidak ingat bagaimana kronologinya itu, sekarang membuatku terjebak dalam wajah ini. Wajah wanita yang bahkan tidak pernah aku kenal.

Aku terpekur di ranjang dengan keadaan yang masih sama lemas seperti tak punya tenaga, tapi memang itu yang sedang kualami. Paska koma tubuhku menjadi lemah tak bertenaga, untuk mengangkat sendok saja rasanya seperti mengangkat sebuah barbel yang dapat merontokkan tulang-tulangku. Kemarin saat aku berteriak meminta semua orang untuk keluar saja, itu bisa kulakukan karena aku sudah minum banyak air, jika tidak jangankan berteriak untuk bicara biasa saja susahnya seperti orang akan sekarat.

Kembali ingatanku mengingat perkataan dokter Ikhsan yang baru saja memeriksaku sejam yang lalu.

***
Flashback ON

"Dok, kira-kira kapan saya bisa keluar dari rumah sakit ini?"

Dokter Ikhsan yang sedang denyut nadiku berhenti, kemudian tersenyum. "Anda bisa secepatnya keluar dari rumah sakit ini, setelah anda menjalani terapi pemulihan untuk memulihkan kembali otot-otot anda yang telah kaku selama koma."

"Ya, sudah lakukan sekarang saja!" seruku bersemangat, sebuah lengkungan indah terbit di bibirku.

"Tapi untuk menjalani terapi, anda tidak boleh stress. Karena jika anda stress itu dapat menyebabkan otot tubuh anda menjadi tegang dan dapat menyebabkan suatu hal yang fatal nantinya."

Penjelasan Dokter Ikhsan membuat senyumku menghilang, namun sedetik kemudian aku kembali bersemangat. Mungkin selama masa pemulihan ini aku harus berpura-pura menjadi Andin-wanita si pemilik asli wajah yang sekarang menjadi wajahku-juga. Setelah aku sembuh dan bisa keluar dari rumah sakit ini, barulah aku akan menghilang dan berusaha mencari orang yang telah merubah wajahku menjadi wajah orang lain.

"Lalu kapan saya bisa memulai terapi pemulihan itu, Dok?"

"Mungkin beberapa hari lagi, saat ini anda masih membutuhkan istirahat yang banyak."

"Oh begitu. Nanti saat saya sudah diperbolehkan untuk terapi, sebisa mungkin saya akan mengurangi beban pikiran yang saat ini sedang membebani otak saya. Agar saya dapat sebuh secepatnya."

"Nah, begitu lebih baik!" seru Dokter Ikhsan dengan senang.

Flasback OFF
***

Tok... tokk... tokk...

Suara ketukan itu membuat lamunanku buyar. Tak lama kemudian terlihat seorang nenek-nenek masuk dengan membawa sebuah keranjang berisi buah-buahan di sebelah tangannya.

Nenek itu menggunakan pakaian kebaya dan jarik panjang dengan rambut yang disanggul tinggi dengan konde yang terbuat dari emas. Di belakangnya kulihat pria mesum itu tengah memegangi bahu sang nenek dengan sebelah tangannya membawa sebuah tas tangan yang kutebak milik si nenek.

Nenek itu mendekatiku, "Ndok, kamu sudah ndak kenopo-nopo, to?" tanya nenek itu dengan logat khas yogja yang kental.

Aku hanya menggeleng. Tidak tahu juga harus berkata apa, nenek ini terlihat sangat menyayangi cucu menantunya ini. Kenapa aku bisa menebaknya begitu, karena kulihat nenek ini mirip dengan suami wanita-si pemilik wajah yang sekarang menjadi wajahku-juga.

"Ini nenek bawain kamu buah-buahan biar cepet sembuh." Nenek itu meletakkan buah-buahan itu di atas meja nakas samping hospital bed yang sedang kutempati.

Saat nenek itu ingin duduk, dengan cepat pria bernama Aldebaran itu menarikkan kursi untuk neneknya. Dia juga membantu nenek itu untuk duduk dan memastikan nenek itu duduk dengan nyaman dikursinya.

Sepertinya dia pria yang baik, lalu kenapa dia tidak bisa mengenali istrinya sendiri? Jika mereka sepasang suami istri yang saling mencintai pastilah dia dapat dengan mudah mengenali istrinya sendiri walau dengan wajah yang berbeda. Tapi kenapa pria ini tidak bisa membedakan antara aku dan istri aslinya?

Nenek itu terlihat ingin mengupaskanku sebuah apel, namun belum sempat meraih pisau itu pria itu terlebih dahulu meraihnya dan mengambil alih apel itu dari tangan sang nenek.

"Biar Aldebaran aja yang ngupasin apelnya buat Andin, nenek duduk aja. Pasti nenek capekkan perjalanan dari yogja kesini?"

"Iya, tapi-"

"Aldebaran nggak mau nenek sakit, jadi tolong turuti permintaan Aldebaran ya, Nek?"

"Baiklah, cucu nenek. Nenek akan nurut."

Pria itu mengupas apel itu dengan telaten, sesekali di selingi dengan berbincang dengan neneknya. Terlihat pancaran mata pria itu yang memancarkan kasih sayang yang sangat dalam dan tulus pada neneknya itu.

Mungkin dia bisa kujadikan salah satu pria idamanku jika nanti aku menikah, tapi bukan berarti aku menyukainya tentu saja tidak. Apalagi setelah kejadian kemarin yang membuatku shock saat dia mencium keningku tanpa permisi. Lagi pula dia juga sudah menjadi milik wanita bernama Andin itu, jadi aku tidak mungkin mencintainya karena aku masih malu dan punya harga diri untuk menjadi seorang wanita perebut suami orang.

"Aaa...!" tiba-tiba sebuah garpu yang diujungnya terdapat sebuah potongan apel itu disodorkan padaku.

Aku mengembangkan senyum tipis menoleh pada si nenek, kemudian menerima suapan itu. Pancaran ketulusan dari mata nenek itu membuatku tak tega untuk mengatakan kebenarannya bahwa aku bukanlah cucu menantunya yang asli. Terkadang berbohong lebih baik dari pada mengatakan kebenaran yang dapat beresiko besar dan juga membahayakan nyawa orang lain.

"Melihat kalian seperti ini, nenek jadi tidak sabar mendengar kabar baik dari kalian."

"Kabar apa, Nek?" tanya pria itu.

"Cicit."

Uhukk... uhukk... uhukk....

Aku langsung terbatuk hebat. Hah, cicit?! 

*** 

Apa yg akan dilakukan Andin/Melody selanjutnya? apa mencari ingatannya kembali? atau mencari kebenaran? ikutin terus ceritanya dengan follow dan tunggu eps selanjutnya!!! 

Identitas PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang