IP 19 : Sahabat Heboh✨

53 8 3
                                    


Aku terbangun kembali di ruangan serba putih yang mengeluarkan bau obat-obatan yang sangat kental, iya untuk kedua kalinya aku terbangun di rumah sakit. Namun kali ini aku tidak terbangun seorang diri karena ada sesosok buaya darat yang tengah menciumi tanganku dengan gemas sedari tadi, ingin kutepis tapi rasa lemas yang kurasakan membuat tangan ini tak sanggup untuk melakukannya.

"Aku haus!" ucapku yang langsung di tanggapi dengan cepat oleh Aldebaran, dia mengambilkan sebuah gelas yang ada di meja nakas.

"Maaf ya, aku terlalu bahagia lihat kamu sadar sampe lupa kasih minum."

Aldebaran memasukkan sebuah sedotan ke dalam gelas supaya memudahkanku untuk meminum air putih itu. "Udah," ujarku menjauhkan bibirku dari ujung sedotan itu.

Aku merasakan keanehan pada sikap Aldebaran yang berubah lembut, samar-samar tadi kudengar dia akan bertobat jika aku sadar. Apakah itu nyata?

"Mas, tadi kayaknya aku denger kamu mau tobat jadi playboy? Beneran?"

Dia mengangguk begitu saja, ini sebuah hal yang bagus. "Bagus. Aku harap Mas beneran tobat bukan cuma omongan semata."

Sebelah tangan Aldebaran terangkat mengusap-usap kepalaku yang masih di bebat perban. "Iya, sayang ... mulai saat ini aku akan mengabulin semua permintaan kamu, asalkan kamu jangan sakit kayak gini lagi."

"Beneran?" mataku berbinar mendengar ucapannya.

"Iya, sekarang kamu mau apa?" Aldebaran kembali menggenggam tanganku seraya mengusap-usapnya pelan.

"Aku mau kamu baikan sama keluarga kamu, gimana?" genggaman tangan Aldebaran berubah kaku, rahangnya mengeras dan tatapannya berubah tajam.

"Jangan itu," ucapnya dingin.

"Tapi--"

"Yang lain aja, Andin! Aku nggak bisa ngabulin hal yang satu itu?!" tegasnya lagi, tak menerima alasan apapun yang akan kukatakan.

Air mataku mengalir begitu saja, aku tidak pernah di bentak oleh siapapun bahkan ayahku sendiri tapi dia ....

"Sayang ... maaf aku nggak bermaksud--"

"Pergi! Aku nggak mau lihat kamu lagi! Pergi dari sini!"

"Nggak akan. Maafin perkataan aku tadi, aku nggak bermaksud bentak kamu. Maaf ...." Aldebaran kembali memelukku dengan erat seperti takut kehilangan.

"Hiks ... hiks ... emangnya nurutin kemauan aku susah banget, ya?"

"Bukan gitu sayang, aku hanya ... belum bisa."

"Ya, makanya di coba dulu, baru bisa!"

"Sayang ..."

"Nggak boleh lho marahan lama-lama, apalagi sama orang tua. Mau di cap sebagai anak durhaka? Syukur-syukur kalo cuma di cap kalo di kutuk jadi batu kayak malin kundang, mau?"

Aldebaran merenggangkan pelukan kamu, menangkup wajahku dengan lembut lalu menghembuskan napas panjang, hingga terasa di wajahku.

"Aku akan mencobanya, hanya demi kamu!"

"Yeay!" sorakku gembira dan langsung memeluknya dengan erat.

"Makasih, Mas sayangku!"

"A-apa?"

Refleks kupukul bibirku yang dengan lancangnya mengatakan hal memalukan itu. "Nggal papa kok, Mas."

***

Siang hari, aku terpekur sendirian di atas ranjang rumah sakit. Aldebaran pamit pergi katanya ada sesuatu yang harus dia selesaikan hari ini juga dan aku mengiyakannya. Lagi pula aku memang sedang membutuhkan waktu sendiri untuk merenungkan insiden yang akhir-akhir ini terjadi. Sepertinya aku tahu siapa dalang di balik insiden itu.

Identitas PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang