Prolog

467 75 58
                                    


Silir angin tak lagi mampu mencipta tenang. Langit cerah tanpa awan tampak indah dengan birunya yang cemerlang. Berpadu dengan terik mentari yang menerjang tanpa halang. Namun, tiada membebaskannya dari kegelapan. Tiada mengibur hati yang dilanda kekosongan.

Teduh bukan lagi miliknya. Terik surya pun tak mengalahkan hujan dari ujung mata. Ia mengangkat kaki, memanjat dinding pembatas setinggi delapan puluh senti. Dalam posisi berdiri, ia menoleh kiri, memastikan bahwa ia benar-benar sendiri.

Pandangnya beralih, menunduk letih, dan mengepal tangan hingga memutih. Air matanya menelusup celah kelopak. Menyusuri tingginya jarak, lalu hilang tampak, tanpa jejak. Tetes itu kembali jatuh. Namun, pemilik mata masih berdiri angkuh, memilih teguh pada batin yang rapuh.

Ketika tetes itu benar-benar hilang dari pandangan, fokusnya terpaku pada selasar lengang. Halaman bawah terlihat mengundang. Seolah menantinya agar cepat melompat dari ketinggian.

Senyum pun terpatri. Maut belum menghampiri, tapi ia sudah bersiap untuk pergi. Ia ingin segera mati! Untuk itu, ia memajukan sebelah kaki, membiarkan darahnya mendesir ngeri, menikmati takut yang mulai merajai. Matanya enggan terbuka, memilih pejam sebagai persiapan pertama. Sebagai latihan untuk terpejam selamanya. Napasnya ditarik pelan, bersiap jatuh demi kematian.

'Bruk'.

Inikah kematian? Sepertinya bukan. Bahkan, tiada rasa sakit yang berarti. Namun, pantatnya terasa tersengat karena beradu dengan lantai hangat yang terjemur matahari. Dunia yang ia lihat masih sama, tapi tatapnya tanpa arti. Tidak peduli, betapa sejuk angin menerpa wajahnya yang mulai pasi. Tak peduli akan indah langit yang tanpa tepi, yang terhias teduh menyembunyikan mentari. Ia tidak peduli!

Keringat dingin keluar dari badan yang bergetar. Napas pun hilang irama, seiring jantung yang membrutal degupnya. Kemudian, harum wangi menghias olfaktori. Otaknya pun memproses apa yang terjadi. Membuatnya sadar akan wujud apakah yang meneduhkannya sejak tadi, tentang siapa yang memeluknya kini.

"Hey, tenang ya, lo gapapa, kok."

Tatap kosong itu belum juga menemukan fokusnya. Namun, ia dan kematian belum berjumpa. Air matanya turun tanpa jeda. Merutuk takdir yang mendatangkan seseorang tanpa izinnya. Yang tadi menarik keras pergelangan tangannya hingga ia terduduk pada lantai semen yang mulai menua. Orang itu hadir tiba-tiba, dan memberi nyaman tanpa diminta.

Dekap hangat dari seorang sahabat harusnya mampu mengembalikan tenang. Genggam erat yang pada tangannya yang bergetar harusnya mampu menahan. Mampu menyadarkan betapa takut sahabatnya itu akan kehilangan. Namun, ia tak peduli. Yang ia inginkan hanyalah mati.

"Kenapa lo narik gue? Gue pengen mati. Lepasin, tolong," ucapnya dengan pandang kosong.

"Please, jangan kek gini. Gue nggak mau kehilangan lagi. Lo temen gue, jangan ninggalin gue."

Selembut apapun suara yang ia dengarkan, tak menarik ketenangan kembali pulang.

"Lepas!"

"Sssttt ... tenang dulu, ya."

Berontak pun tiada guna. Badan sahabatnya lebih kuat memeluknya. Kini, hanya tangis yang melampiaskan rasa. Melepaskan segala jerat yang seakan mengikat dada.

Hanya pilu. Pilu yang berselimut haru biru. Sebiru langit yang melukiskan sendu. Sendu dalam isak yang kian menyedu. Untungnya, ada yang mau meminjamkannya bahu, membiarkannya bertumpu, juga membebaskannya dari berbagai rasa yang membelenggu.

✂️---------------------------------------------------

Apa ini?
Prolog macam apa?
Jangan salah, udah mau terbit loh, haha.

Pokoknya gitulah. Suka nggak? Lanjut gak nih?

Sapa authornya dong, biar nggak sepi.

Vote komen ya, Readers.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang