9. Pada Januari

95 29 74
                                    

Rinai Januari merintik syahdu. Meriuh merdu bagaikan irama lagu. Berpadu indah bersama derap kaki yang terburu. Gelap malam pun terhias bias lampu. Mengesankan sendu pada jiwa yang kelabu, dalam balut jaket biru.

Bekerja paruh waktu di sebuah kafetaria ternyata cukup melelahkan. Belum lagi harus pulang jalan kaki berteman hujan dan dingin malam. Bagaimana lagi? Memang itulah satu-satunya cara mempertahankan kehidupan.

"Duh, makin deres aja."

Juli memutuskan berhenti. Mencari teduh di sebuah halte dengan seorang paruh baya yang mengisi. Juli menghentikan gerak kaki, memandang bapak itu dengan senyum terpatri.

"Boleh ikutan neduh, Pak?"

"Iya, silahkan. Adek dari mana hujan-hujanan gini?" tanya bapak itu.

Setelah duduk, Juli melepas tas punggung, lalu mengeratkan jaketnya. Mengamati lalu lalang kendaraan yang tak seramai biasanya. Kepalanya menoleh, menatap orang yang mengajak bicara.

"Habis kerja, Pak. Di Kafe Biru. Bapak sendiri dari mana? Eh, Bapak namanya siapa?"

Pria paruh baya itu terkekeh kecil. Menciptakan sedikit hangat pada tubuh yang dingin menggigil. Dari senyumnya, bisa Juli rasakan betapa ramah orang di depannya. Betapa orang asing itu mau menerimanya.

"Panggil aja Om Martin. Nama kamu siapa?"

"Aku Juli, Om. Om Martin dari mana? Padahal Om pakai mantel hujan, kenapa malah neduh, Om?"

Martin menjawab, "Kalo hujan-hujanan, nanti Om sakit. Kalo Om sakit, nanti nggak bisa lagi ngobatin orang-orang sakit. Dokter emang gitu, Jul."

Mata Juli berbinar penuh warna. Memandang kagum dengan bibir sedikit terbuka. Ia tidak menyangka, hujan mempertemukannya dengan seorang dokter yang berteduh di halte yang sama.

"Wah, Om Martin dokter, ya? Cita-cita aku dari kecil itu, Om. Aku nggak nyangka bisa ngobrol sama seorang dokter. Hei, hujan, makasih udah turun. Kalo nggak turun, pasti aku nggak ketemu sama Om Dokter."

Rasanya bahagia, seperti fans yang bertemu idola. Dalam hati, jutaan syukur bergema, mengalahkan riuh hujan yang belum reda. Senyum manis pun terukir sempurna, tanpa niat melunturkannya

"Pengen jadi dokter, ya? Kalo gitu, yang rajin sekolahnya. Eh, kamu sekolah sambil kerja, ya?"

"Iya, Om. Nggak kerja berarti nggak makan. Tapi aku tetep sekolah. Kalo ketemu Ayah biar nggak malu-maluin, hehe."

Martin mengerutkan dahi. Juli sadar, itu isyarat tidak mengerti. Untuk itu, ia membuka tasnya, mengambil jurnal abu-abu, lalu mengambil selembar foto dari sana.

"Bunda aku udah meninggal, Om. Kalo Ayah ... Ayah aku hilang. Fotonya juga usang banget ini. Om pernah liat orang kayak gini, nggak?"

Sebuah gelengan ia dapatkan. Menambah sendu yang tergambar dalam bentuk genangan. Hujannya belum berhenti, dan Juli tak mau menambahnya lagi. Untuk itu, ia memejam menenangkan diri.

"Om doain, semoga cepet ketemu." Tangan Martin mengusap pucuk kepala Juli dengan lembut.

Membuka mata, Juli terpaku. Hangat itu membuat tubuhnya kaku membeku. Nyaman ini, membuatnya merasa seakan memiliki. Rasa yang sama saat bersama Novan, ayahnya April yang biasa menganggapnya anak sendiri.

Aura bapak-bapak emang gini.

"O-om, Om pasti bapak-bapak. Aku langsung baper masa."

Tangannya menghapus setitik hujan di sudut mata kiri. Bagaimanapun, ia adalah sang Juli, yang lebih pantas dengan terik ceria layaknya mentari. Juli tersenyum, mengembalikan terik 'tuk mengalahkan hujan di mata yang tak tahu diri.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang