6. Tercekam Sunyi

93 31 34
                                    

Anak enam belas tahun itu setia memasang mata. Mengamati jeli bagaimana cara orang-orang itu bekerja. Baru beberapa hari ia di sini, pekerjaannya harus sempurna, atau ia akan dipecat tanpa gaji pertama.

"Hoy, Anak Jalang!" panggil seseorang.

"Juli, Bang. Ya ampun, bundanya terkenal, anaknya nggak ada yang kenal."

Senyum itu masih mengembang tanpa beban. Juli sudah terbiasa dengan panggilan dari orang-orang. Di sini, di sebuah toko bahan makanan, ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan harian. Kata ketus dan tajam selalu ia dapatkan, tapi ia tak peduli akan segala hinaan. Perlunya adalah bekerja, mencari uang.

"Ini isinya telor. Anter ke Pak Bos di belakang."

"Siap, Bang."

Juli menerima kotak besar itu dengan hati-hati. Cukup berat, tapi ia harus membiasakan diri. Karena, Juli harus berjuang sendiri demi sesuap nasi.

Langkahnya terhenti di depan gudang penyimpanan. Bosnya pun sudah berdiri dengan wajah garang. Namun, Juli menampakkan senyuman. Membuat pria tua berkumis itu menatap sinis penuh ketajaman.

"Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya Juli.

"Ngapain bawa ke sini? Bawa ke depan, taruh di deket rak bagian barat!"

Juli mendengkus. "Tadi saya disuruh bawa ke sini. Masa harus balik lagi, Pak? Ini tuh berat. Bapak nggak liat, badan saya kecil, masa suruh bawa telur sebanyak ini?"

Susah payah Juli membawanya ke mari, tapi harus kembali ke depan lagi. Kotak merah itu Juli letakkan dengan wajah lelah, tapi bosnya tak juga merasa bersalah, malah menunjukkan butir-butir amarah.

"Yang bos siapa? Kamu apa saya? Kalo nggak niat kerja, pulang aja sana! Ngeluh mulu dari kemarin, ngerjain apa-apa nggak becus!"

Tajam suara itu menusuk pendengaran. Kesekian kalinya, Juli mengembuskan napas panjang. Bosnya galak, memang. Namun, Juli bersyukur, masih ada orang yang memberinya pekerjaan, setelah sekian kali menerima penolakan.

"Iya, Pak. Saya minta maaf. Bapak jangan galak-galak, dong. Coba senyum, deh. Biar makin ganteng, terus disayang istri," ucap Juli.

"Buruan kerja!" bentak pria itu.

Juli langsung melesat ke tempat yang tadi disebutkan. Meletakkan sekotak telur di samping rak mi instan. Akhirnya, ia sedikit bebas setelah meletakkan beban. Juli meliukkan badan, merenggangkan sebagian besar otot yang tegang.

Selanjutnya, terdengarlah suara berat dari bosnya. "Saya mau ke pasar, jangan sampe ada yang buat kesalahan. Kalo ada pembeli, layanin baik-baik."

"Iya, Pak," jawab karyawan-karyawan di sana.

Juli masih merekam bagaimana bosnya bangkit dari kursi, meninggalkan meja kasir, lalu berjalan keluar bersama sang istri. Setelahnya, semua berjalan seperti biasa. Sesekali, pembeli datang dan pergi meski tidak seramai hari sebelumnya.

"Sepi, nih," ucap salah satu karyawan perempuan.

"Iyalah, ada anak jalang. Pada males mau ke sini."

Semua suara tak luput dari perhatian telinga. Namun, Juli tak acuh akan apa yang didengarnya. Memilih menyibukkan diri dengan menyusun botol kecap di rak paling utara.

"Anak jalang, ya? Anak jalang salah apa?" tanyanya pada diri sendiri.

Tak disangka, empat karyawan di toko itu mendengar ucap lirihnya.

"Salah apa? Lo tanya, lo salah apa? Salah lo itu, karena udah lahir, lah. Pakai nanya lagi. Lo lahir aja udah salah, nggak diharapkan soalnya," terang seseorang berbaju hijau.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang