Sekali lagi, dua lubang cium menghidu wangi, menghancurkan ragu yang membelenggu dan enggan pergi. Sekali lagi, embus panjang terlepas pelan, meleburkan gemuruh hati yang gaduh berbunyi. Sedetik kemudian, bibirnya tersenyum yakin, bersama silir dingin penegas pagi. Bahkan, timur tampak malas menebas jingga. Tak mengizinkannya pudar, meski biru menghadirkan eksistensi. Indah, seolah, adiwarna cerah tengah menyemangati, menghambur warna cerah bagi kelabu sang Februari.
Tapi, maaf ....
Ia tidak siap menampakkan diri. Untuk itu, ia menunduk di depan pintu yang mungkin terkunci, meletakkan setangkai mawar yang ia pegang sedari tadi. Lalu apa? Anggap saja selesai, dan ia harus kembali. Tiga langkah pun menderap sepi, tak boleh terdengar, atau ia akan malu sendiri. Namun––
"Hmmm, wangi. Makasih, Ayah."
Febri mengentikan langkah, menoleh resah pada Julian yang tersenyum ramah. Aneh, wajah anaknya itu amat cerah tanpa marah. Apakah dia telah lupakan kisah-kisah yang tersudah? Padahal, waktu itu, Julian menolaknya mentah-mentah.
"Hehe, kalo kangen, datangnya gausah diem-diem. Masuk aja, Yah," pinta Julian.
Febri mengangguk kikuk, melangkah masuk untuk mengambil duduk. Bukan pada kursi ataupun sofa, melainkan tikar merah yang terbentang sempurna. Di pojoknya, ada kasur yang terlipat dan sebuah boneka. Dinding-dindingnya tampak kelam tak berwarna. Peralatan dapur terletak di sudut sana, satu ruang dengan tempat tidur Julian yang sederhana. Sempit dan kecil. Inilah tempat singgah putranya.
Febri merasa paling jahat sedunia. Ia sendiri hidup kaya, tapi anaknya dibiarkan hidup sebatang kara. Di usia yang belum genap tujuh belas tahun, Julian harus bekerja. Hidupnya pun amat sederhana, tapi anak itu tak pernah henti membagi senyumnya.
"Ayah habis joging? Capek nggak, Yah?"
Febri tersenyum juga. "Capek, dikit. Gapapa, biar sehat."
Pagi ini, Febri melalui dua kilometer yang terbentang. Namun, di sinilah hati memilih pelabuhan, pada setia yang diam-diam menyimpan kelam. Namanya Julian, sosok tangguh perapuh kehidupan. Sosok hampa pengisi kekosongan. Dan, sosok kelabu bersemu palsu penuh ketulusan.
Pada silam, Febri menolak anak itu, lantaran masa lalu dan bayang waktu. Namun, hatinya menolak setuju, bergemuruh pilu antara sesak dan rindu. Akhirnya, ia memilih abu-abu antara perih yang mengganggu. Tetap perih, tapi teralih terkaman rindu.
"Aku nggak punya apa-apa, cuma ada air putih, Yah."
Ketika Febri mengangkat mata, senyum itu membirukan semunya, mengingatkannya pada paras Septia. Sekeras apapun ia menghapus ingat dalam lupa, Julian selalu berhasil membuka luka. Tidak, tapi Febri perlu belajar agar terbiasa.
Ini lagi tahap mencoba.
Bening yang mengalir mengambil alih fokus mata. Gericik pelan menyapa telinga, kala air minum itu mencapai dasar gelas dengan sempurna. Juli pelakunya, Juli pula yang menyerahkan, hingga ia menerima. Dahaga pun sirna, kala teguk demi teguk ia hitung sampai lima. Kini, gelasnya hampa, isinya tandas tanpa sisa.
"Haus banget, kayaknya. Ayah mau lagi?" Julian menawari.
"Nggak usah, makasih," ucap Febri sambil meletakkan gelasnya.
Setangkai bunga yang sempat terbengkalai, Julian ambil, lalu dihirup hingga matanya terpejam. Julian tampak senang, membuat Febri ikut menarik senyuman. Dalam hatinya, Febri menyesali setiap tolak yang ia berikan. Bahkan, ia pernah melempar setangkai mawar dari Julian, membuat anak itu terluka meski tak ditampakkan. Kemudian, anak itu benar-benar menghilang, seperti apa yang ia serukan.
Perginya meninggalkan hampa paling mencekam. Sepertinya, ini hukuman yang membuatnya merenung dalam timbun penyesalan. Perlahan, hatinya terbuka sebagai rumah tanpa penghuni. Namun, Julian menolak pulang, saat ia memintanya kembali. Agaknya, terlalu banyak luka yang juga melukai. Hari ini, akankah ia gagal lagi?
![](https://img.wattpad.com/cover/274233062-288-k455273.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Juli (Terbit)
Fiction généraleAntara terik, ada rintik yang berusaha sembunyi. Sembunyi di detik sepi sekedar menepi. Menepi 'tuk memecah mendung di balik langit birunya selama ini. Dia sang Juli. Jika sinarnya padam, dunia akan dirundung kelam. Gemerlap temaram tak lagi mengisi...