7. Ruang Asing

81 32 66
                                    

Derap pelan menjejak konstan pada trotoar tepi jalan. Iramanya tenang, menentang hiruk pikuk metropolitan.

Jakarta, yang asingnya menjadi akrab untuk Juli yang baru pulang bekerja. Retinanya berbinar ceria, mengedar sempurna, menjelajah indah kota dengan segala riuh yang ada. Deru bising kendaraan saling bersaut mesra, pejalan kaki pun berlalu lalang dengan masing-masing urusannya.

"Enak juga jadi orang asing di Jakarta," ucap Juli.

Senyumnya mengembang, menikmati ruang asing yang mulai nyaman. Tak ada lagi tetangga penggosip suka mengacaukan. Memang, ia sengaja pindah untuk memperbarui kehidupan.

Pikirannya kembali, pada hari di mana ia ingin dan harus pergi. Saat seorang ibu paruh baya memegang kipas tangan mendatangi rumahnya, menagih hutang peninggalan Okta.

"Tapi, jangan bayar pakai uang. Takut kecampur hasil judi, soalnya."

Juli menghela napas tanpa sengaja. Ia ingat betul saat rumahnya harus disita untuk membayar hutang yang amat besar jumlahnya. Rumah sederhana itu bukan lagi miliknya. Sekarang, Juli tak punya apa-apa. Ia tak memiliki tempat pulang dalam bentuk apapun juga.

Bunda sama Tante Okta udah nggak ada. Kalo Ayah, nggak tau di mana. Terus ... Masih ada April––harusnya, tapi mana?

Juli tetap sendiri, tanpa sesiapa. Berteman sepi, bersama gemerlap lampu yang menghias setiap sudut kota. Menjadi indah berupa titik-titik cahaya. Dingin malam menelusup celah jaket yang baru dikancingkan, terperangkap, lalu ikut hangat bersama suhu alami badan.

Langkahnya tak lagi berjalan. Memilih berhenti pada persinggahan, di bangku pinggir jalan. Juli mendudukkan diri, membuka jurnal abu-abu yang ia pegang sedari tadi. Tutup pulpen sudah berpindah ke tangan kirinya. Ujung pena telah bersiap mencoretkan pekat tinta pada bentang sunyi penuh lakuna, tapi--

"Tadi mau nulis apa, ya?"

Bibirnya sedikit terbuka, dahinya berkerut lembut dengan mata yang memainkan kelopaknya. Kelopak itu menari pelan, mengajak serta bulu matanya yang lurus dan panjang. Juga iris cokelatnya, yang sedikit bergerak 'tuk menggali isi otak yang sempat tenggelam.

Sia-sia. Ia memilih berhenti sekarang juga. Membawa jiwanya pada potret usang di depan halaman pertama. Foto kedua orang tuanya. Setelah ingatannya kembali ada, jemarinya membuka lembar kosong tadi dengan tergesa, takutnya kembali lupa.

Harapan Besar Juli di Jakarta

• Cari Ayah, datengin rumahnya, minta dipeluk, tinggal bareng (kalo boleh).

• Ketemu April, nanyain kabarnya, ngobrol bareng, megang lesung pipinya.

• Cari temen yang banyak. Minta ditraktir.

• Bahagia.

• Berbuat baik, cari pahala.

• Habis itu, ketemu Bunda, di surga.

Kini, lembar itu tak lagi sepi. Harap demi harap, asa demi asa, tersusun rapi, dengan doa-doa yang tak henti menyertai. Kota ini, adalah ruang baru dengan khayal semu yang melayang tinggi. Berharap dapat menggapai asa, tanpa mimpi.

"Udah malem, tapi masih rame. Bener kata April, Jakarta tuh keren. Banyak orang, lampunya gemerlapan, nggak perlu bawa senter kalo keluar malam," lirihnya.

Juli berdiri, melanjutkan langkah menuju kontrakannya. Sesampainya, ia langsung membersihkan diri, mengganti pakaian, lalu beristirahat di kasur lipat yang tersedia.

"Halo, April. Lama, ya, nunggunya? Makasih udah nunggu. Nggak usah ditunggu, aku juga tetep pulang, kok. Nggak kayak si itu, haha."

Tiada jawaban, karena yang diajak bicara hanya boneka beruang. Sambil berbaring, Juli membelai bulu halus itu tanpa bosan. Lembutnya membawa tenang, membuatnya tersenyum dengan mata terpejam.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang