2. Secercah Temaram

162 40 68
                                    

Ketika gelap telah menghidupkan malam, suara jangkrik pun bersahutan, menghias kota kecil itu bersama melodi alam. Ada pula suara isak kecil dari seorang anak berbaju hitam.

Ia menyesal karena keluar malam secara diam-diam. Niatnya ingin mencari kebebasan. Sejak pagi, ia ingin menikmati hari libur dengan berjalan-jalan, tapi tidak diizinkan. Ia pun memilih menunda rencana hingga malam. Namun, berakhir dengan acara menangis di tepi jalan.

Daerah ini terlalu asing untuk Gara yang baru pindah ke sini. Ini bukan ibu kota yang dulu ia tinggali. Tempat ini sepi, seperti kota mati. Belum terlalu malam, tapi tiada manusia yang menampakkan diri. Padahal, Gara butuh seseorang, sekedar menanyakan jalan untuknya pulang kembali.

Setapak itu cukup gelap tanpa penerangan. Hanya sinar bulan yang menciptakan remang. Menambah bingung pada Gara yang tak tau arah jalan. Ia ingin pulang, tapi tak tau kemana lagi harus melangkahkan kaki. Semenjak tadi, ia terus berjalan, tapi lagi-lagi sampai di titik ini. Gara tersesat di jalan yang tidak ia kenali sama sekali.

"April,"

Gara menolehkan kepala, menajamkan telinga, guna mencari sumber suara. Namun, ketakutan itu semakin ada saat ia tak melihat sosok apa-apa. Tangisnya kembali bersuara, lebih keras dari sebelumnya.

"Bunda, tolongin Gara."

Tak lama, panggilan asing itu terdengar kembali. Suaranya kian jelas dan berisi, tapi Gara tak melihat sosok apapun yang mendekati.

"April,"

Gara menutup telinga, takut-takut jika yang memanggilnya itu bukan manusia. Kemudian, ia menunduk, melihat siluet tubuhnya yang berupa bayangan. Bayangan yang semakin hitam, karena dikelilingi sinar temaram. Ia pun menoleh ke belakang. Matanya menyipit kala seberkas cahaya itu menusuk penglihatan.

"April, ini Juli. Kamu kenapa nangis di jalan?"

Sosok itu mendekat, hingga Gara melihat jelas wajah yang terpahat. Mungkin, Juli tercipta sebagai penyelamat untuknya yang tersesat.

Senter redup itu diturunkan. Dibawa ke dekat Gara yang butuh penerangan. Remang pun berubah menjadi sedikit terang.

Dia sang Juli,
pembawa secercah temaram yang menelusup antara kegelapan.
Dia sang Juli, pemilik sinar redup, penghias gulita malam
(Sang April)

"Pengen pulang, tapi nggak tau jalan."

"Udah, jangan nangis. Rumah kamu kayak apa emangnya? Aku bantu cariin deh."

Ternyata benar, redup itu datang untuk menjemput seseorang keluar dari kegelapan. Dia sang Juli, sebagai redup yang amat berharga bagi gelap hitam.

Gara berkata, "Rumah aku besar, dindingnya kuning, lantainya keramik putih, pagernya besi."

Juli nampak berpikir, mengingat-ingat dengan cukup lama. Gara tidak tahan, ia ingin pulang dengan segera. Air mata itu ia biarkan begitu saja, sambil menggenggam lengan Juli dengan kedua tangannya. Jika dilihat, ia seperti budak yang memohon pinjaman uang dari tuannya.

Siapa tau Juli mau anterin Gara.

"Jul, anterin dong. Dari tadi aku udah keliling-keliling, tapi rumah aku nggak ketemu. Pasti Bunda udah nyariin, soalnya tadi aku pergi nggak izin dulu. Tolong, ya? Besok aku jajanin di kantin deh."

"Hehe, iya iya. Itu air mata sama ingusnya diusap dulu tapi," ucap Juli.

Dua pasang kaki itu melangkah beriringan. Menciptakan suara kecil di tengah sunyi malam. Mereka terus berjalan, ditemani bulan purnama yang membulat sempurna. Yang menerangi malam bersama redup senter yang Juli bawa.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang