Berkali-kali, Juli bertanya kepada Tuhan mengenai sebab ia diciptakan. Namun, tiada jawab yang ia dapatkan, melainkan hanya takdir-takdir semu yang terus mengekang kehidupan.
"Nggak punya ayah, huuuu."
"Juli punya kok. Kata Tante Okta, ayah aku di kota. Kalo udah gede, aku mau nyari ayah ke Jakarta."
Teman sekelasnya itu tertawa. Juli tidak tahu lucunya di mana, tapi gelak mereka cukup mengganggu telinga.
"Kasihan, ayahnya hilang. Juli terlantar, Juli dibuang. Masa punya ayah, tapi nggak pernah pulang?"
"Tantenya juga nggak peduli. Pasti males ngurusin anak jalang kayak Juli. Udah banyak dosa, cuma bisa ngrepotin lagi," sahut anak lainnya.
Kadang, ia bertanya-tanya, mengapa ia hanya tercipta sebagai bahan olokan semata? Segala tentangnya adalah salah tanpa perlu jawab atas alasan yang selalu menjadi tanya.
Udah nasib kalik.
"Tante Okta sayang kok sama Juli."
"Tapi kamu nggak punya orang tua, huuu."
Juli terdiam, membiarkan setiap kalimat ejekan itu meluaskan kekuasaan, tanpa pemberontakan, tanpa penyangkalan.
"Udah dong. Kata Bunda, nggak boleh ngejek temen. Nanti Juli sedih loh."
Tanpa ia minta, takdit mendatangkan seseorang untuk membela. Dia sang April, warna lain yang mewarnai kelabunya.
Juli punya April yang menjadi teduh dari segala panas hujan yang menerpa.
(Sang Juli)Kini, tangan Juli ditarik pelan untuk diajak pergi. Juli menurut, membiarkan jemari itu bertaut sambil mengayun kaki.
"Duduk situ, yuk. Lihat, aku ada dua bungkus roti kesukaan kamu. Satu buat aku, satu buat kamu."
Di kursi panjang, mereka mendudukkan diri. Berbincang kecil sembari menikmati roti rasa stroberi. April adalah yang terbaik bagi Juli. Tadi, April menyelamatkannya, lalu membawanya pergi. Kini, tiada lagi ejekan yang mengganggu Juli.
"Jul, kamu nggak sedih dihina tiap hari?"
Juli menoleh, meninggalkan sejenak roti selai stroberi. Menangkap retorika yang diam-diam mengacak hati. Sayangnya, dia sang Juli, yang senyumnya menyimpan sejuta misteri.
"Dikit. Tapi kan aku nggak cengeng kayak kamu. Lagian, ada kamu yang selalu belain aku."
"Jul, aku ...." Suara April terjeda, lengkap dengan ekspresi aneh yang mengganggu mata.
Juli menangkap ragu dari suara April yang melagu. Juga ada rasa takut di mata itu. Namun apa sebabnya? Juli tidak tahu.
"Kamu kenapa?" tanya Juli.
"Aku nggak bisa lama-lama di sini. A-aku harus pergi."
Sepasang anak kelas tiga SD itu saling pandang dengan raut berbeda. April yang tampak ragu dan menghindari kontak mata, sementara Juli yang berusaha menyingkap makna, menyelam kedalaman tanpa dasar, tanpa cahaya.
"Pergi? Pergi ke mana? Jangan pergi dong, hehe." Juli terkekeh sumbang di akhir kalimatnya.
Pergi. Sebuah kata dengan ribuan makna yang menyertai. Dari ribuan itu, Juli tahu, bahwa tidak ada yang baik dari kata pergi. Pun segala kelanjutan yang akan menyiksa dengan pasti.
Pergi, perpisahan, meninggalkan, ditinggalkan, kemudian sendiri. Ih, ngeri.
"April, kamu mau pergi ke mana, sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Juli (Terbit)
قصص عامةAntara terik, ada rintik yang berusaha sembunyi. Sembunyi di detik sepi sekedar menepi. Menepi 'tuk memecah mendung di balik langit birunya selama ini. Dia sang Juli. Jika sinarnya padam, dunia akan dirundung kelam. Gemerlap temaram tak lagi mengisi...