13. Kepada Rasa

79 27 47
                                    

Juli bangkit berdiri, menatap dua orang yang memandang saling benci. Netra tajam Janu menyorot dalam bagai tusukan, sementara iris hitam April kian menggelap layaknya malam yang makin kelam. Antara dua pasang mata yang berkilatan, binar sang Juli masih redup temaram. Merasa bersalah atas terjadinya keributan.

"Jangan seenaknya nuduh, Gar! Gue emang nggak banyak punya temen, tapi gue nggak ada niat buat jauhin lo dari Juli!" Suara Janu ikut meninggi.

Juli menghela napas panjang. Hening malam tergantikan gaduh dari mulut-mulut yang bersitegang. Dua orang di depannya tak henti melempar kata deras bertubi-tubi. Mengapa seperti ini? Mengapa pertikaian mereka begitu meremas hati Juli?

"Tapi, gara-gara lo, Juli jadi lupain gue, Jan!"

"Gitu aja marah, kekanakan banget, sih lo?" cibir Janu.

"Sssttt .... Udah, Jan. Nggak boleh gitu sama April."

Mata tajam Janu meliriknya. Juli jadi takut, ia seperti akan diterkam serigala. Namun, Janu mengembuskan napasnya, menoleh penuh padanya yang memasang mata.

"Lo belain dia? Lo tadi didorong sama dia, Jul. Gara ngedorong lo, cuma gara-gara nggak kita ajak doang. Bocah banget, kan?"

Juli adalah sang Kelabu, yang harusnya menjadi penengah antara hitam dan putih yang sulit bersatu. Bukankah hitam dan putih akan indah jika berpadu tanpa seteru? Namun, bisakah ia menjadi seorang penyatu, sedangkan eksistensinya sendiri adalah semu? Senyumnya pun kadang palsu, tapi bisakah ia jujur kepada rasa yang tak tentu?

"Udah! Ini aku yang salah! Tadi aku yang lupa, nggak ngajakin April. April, maaf, ya?"

April masih diam.

"Tuh! Juli dah minta maaf, tuh. Buruan maafin, gue males ribut sama lo," ucap Janu santai.

"Lu mancing emosi aja, perasaan!" teriak April.

"Salah gue di mana, Gar?"

Kepada rasa, Juli bertanya. Sekali lagi, bolehkah ia mengungkapkannya? Bolehkah perasaan itu terungkap sesuai fakta? Jika iya, ia marah, ingin teriak, menggemakan damai yang tak kunjung ada.

"Stoooooop ...!"

Mata Juli membulat, masing-masing telapak tangannya mencengkeram erat kedua sahabat. Tak terlalu kuat, berharap mampu mengikat kedua warna tanpa meleburkan satupun pihak. Namun, Janu yang tak suka disentuh menepis cekalannya dengan cepat. Juli pun membebaskan kedua jerat, membiarkan tenang mulai merambat meskipun lambat.

Dalam lingkaran, ketiganya diam, terhias sunyi. Tiga pasang mata yang tadi menajam, kini melembut, menghapus emosi. Semua kepala menundukkan diri, membiarkan jeda dalam bentuk sepi. Lima detik berselang, ketiganya mendongak bersamaan, menyatakan titik pandang di tengah lingkar persahabatan, kemudian--

"Maaf."

"Maaf."

"Maaf."

Kepada rasa, mereka membatalkan hancur yang hampir ada. Sebuah kata, terluncur seirama dalam waktu yang sama. Kata itu, lebih sakral dari sekedar mantra. Maaf itu, adalah penyatu, selama pihak sebelah juga mengatakan kata yang sama.

"Ciye, kita bertiga so sweet ternyata. Maaf-an aja barengan," kata Juli dengan senyuman.

Kata maaf tidak akan mengembalikan apa-apa, tapi maaf adalah perjalanan sebuah rasa. Tentang bagaimana seseorang mengucap kata itu, meski diawali rasa terpaksa, kemudian berusaha tulus, menghapus pura-pura. Bagi Juli, maaf adalah lembar baru, yang menjadi tempat menggoreskan bahagia, sebagai suntingan dari rasa sebelumnya.

• • •

Pada sebuah hela dan embusan panjang, ada rasa yang masih tertahan. Ada rindu yang minta diluapkan. Terlalu banyak, hingga berjejal menyesakkan. Namun, rindunya masih terpendam. Memilih teguh pada hati yang bimbang.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang