Nada gaduh dibiarkan menggema. Gema riuh meriahkan ramai penuh suara. Suaranya menghapus hampa, mengisi waktu istirahat yang bersambut jam kosong, katanya.
Sebagian teman Juli sudah keluar sedari tadi, tapi ia memilih di sini, bersama sebagiannya lagi. Tidak melakukan apa-apa, hanya duduk santai dan menyatu bersama riuh yang ada.
"Hahahaha ...."
Sepenuh hati, Juli tertawa, menanggapi kisah jenaka yang menghias ruang telinga. Banyak sekali, mulai dari si Bule-Noval-yang tercebur selokan tanpa sengaja, sampai kisah Yunita, yang katanya mengorok saat menginap di rumah Novia.
Di sini, Juli bersyukur bisa tertawa, meski ia sendiri tidak paham, seberapa tulus tawa yang terkembang. Ia bahkan tidak paham, apakah ini bahagia, atau hanya tawa penuh kepalsuan. Namun, semunya ditakdirkan untuk memantulkan warna, meski ia tak memilikinya.
"Yang mau, ambil!"
Suara itu, merenggut ramai menjadi hening. Seseorang meletakkan satu plastik merah yang Juli yakin dari kantin. Tidak ada yang aneh, kecuali pembawanya adalah sang Dingin.
"Buruan, ambil!" suruh orang bermata tajam itu.
Riuh pun kembali. Hampir satu kelas menyerbu meja terdepan, dan mengambil jajanan tadi. Sementara itu, Juli masih duduk nyaman di kursi, menyaksikan keramaian itu dengan senyum berseri.
"Jan, tumben banget, duit lo licin. Eh, ini nggak ada racunnya, kan?" tanya Agusta.
"Semoga rejekinya si Janu ngalir terus, nggak abis-abis," ujar yang lainnya.
"Jajanan langka, jajanan langka!"
"Berita terkini, anaknya pemilik sekolahan nraktir temen sekelas untuk pertama kali."
Janu tak menanggapi. Sosok itu malah mendekat ke arah Juli, menyodorkan sebungkus roti berbentuk persegi, yang diketahui berisi selai stroberi. Meski Janu tak mengucap sekata beri, Juli menebak dengan berani. Sahabatnya itu pasti berkata dalam hati, bahwa roti itu memang untuk Juli.
Wah, baik sekali.
"Buat aku?"
Janu hanya mengangguk, mengambil duduk pada tempatnya sendiri, di samping Juli. Juli pun berterima kasih, membuka roti itu, lalu mulai menikmati. Di tengah acara mengunyah, ia menoleh ke arah kiri, mendapati Janu yang memandangnya tanpa permisi.
Mungkin sejak tadi.
"Kenapa, Jan?"
Janu menggeleng. "Nggak jadi."
"Ih, kenapa?"
Janu memejamkan mata, terdiam agak lama, mencipta sedikit jeda. Setelahnya, mata tajam itu kembali terbuka, menyorotkan takut yang langsung terbaca.
"Semalem, gue mimpi. Gara meninggal, Jul."
Apakah itu pertanda? Juli harap tidak. Hal buruk itu hanya di alam lelap, yang semoga tidak nyata. Sebisa mungkin, Juli meyakini bahwa mimpi buruk itu hanya bias semu tanpa makna. Hanya penghias tidur yang ada tanpa diminta.
"Terus?" Juli kembali menggigit rotinya.
Janu mengembuskan napas pelan. Rautnya tampak kesal dengan respon yang ia berikan. Sebenarnya, Juli paham, Janu hanya takut kehilangan.
"Rasanya nyata banget, Jul. Terus ... terus gue takut. Ya, gitulah pokoknya."
Janu melanjutkan. "Gue nggak lebay, kan?"
Juli melipat bungkus roti yang tak lagi berisi. Ia memasang wajah tenang, tapi ada takut yang juga tersembunyi. Bahkan, ingatannya kembali pada saat April berkata soal mati. Lalu, bagaimana jika mimpinya Janu benar-benar terjadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Juli (Terbit)
General FictionAntara terik, ada rintik yang berusaha sembunyi. Sembunyi di detik sepi sekedar menepi. Menepi 'tuk memecah mendung di balik langit birunya selama ini. Dia sang Juli. Jika sinarnya padam, dunia akan dirundung kelam. Gemerlap temaram tak lagi mengisi...