22. Segala Usai

175 24 89
                                    

Juli di mana?

Siapapun yang ia tanya, tak memberi jawab dengan sempurna. Mereka aneh, entah itu ayahnya, bundanya, maupun teman-teman sekolahnya. Seolah, mereka bersekongkol untuk sebuah rahasia.

"Jan, Juli mana?"

"Juli sibuk."

Masa sibuk melulu?

Berminggu-minggu, tapi ia dan Juli tak juga bertemu. Padahal, ia ingin memamerkan detaknya yang baru. Namun, Juli tidak pernah mendatangi, tak memberi kabar, dan tak pernah bisa ia hubungi. Kenapa, ya? Apa Juli marah, karena Gara melewatkan ulang tahunnya? Padahal, itu juga bukan ingin Gara.

Sungguh, ia ingin bertemu dengan sahabatnya itu, ingin membagi bahagianya, sebagai sosok yang akhirnya bercahaya. Selama ini, Gara hanya bisa membagi gelap untuk Juli yang gemerlapan. Sekarang, ia mulai bersinar, dengan jantung orang baik yang ia kenakan.

Jangan-jangan, ini jantungnya Juli!

Pikirannya melayang tinggi, meninggalkan kepalanya sendiri. Perkiraannya logis, memang. Namun, ia ingin logikanya patah setelah mendapat sekecap penjelasan. Untuk itu, ia ingin bersuara, menuntut jawab atas tanya yang mengganggu kepala.

"Ayah, Bunda," panggilnya riang.

Seperti anak manja pada umumnya, Gara menyandarkan kepala di bahu sang ayah. Bundanya juga mendekat, mengambil tempat, memenuhi sofa merah. Sungguh nyaman. Lagipula, Gara tak pernah kurang kasih sayang.

"Gara mau tanya, nih."

Bundanya tersenyum lembut. "Mau tanya apa?"

Tangan bundanya, ia tarik ke dada. Gara yakin, tangan itu pasti sudah merasakan detaknya. Setelah itu, barulah ia menentang ragu. Napas yang terhela, ia pakai untuk menguntai tanya.

"Ini jantungnya siapa?"

"Kan di dada Gara. Jantungnya Gara, lah. Gimana, sih, kamu?" Novan terkekeh setelah berkata demikian.

Tangan ayahnya itu mendarat di kepalanya, mengacak rambut hingga helainya berantakan. Namun, Gara menghindar, lantaran kesal atas jawab yang tak memuaskan. Rasanya, semua orang sama-sama aneh dan menyebalkan.

"Dulunya, ini punya siapa?"

Tak butuh waktu lama, tangan sang bunda mengambil tempat di pundaknya. Tatapnya masih sama, pun caranya melantun kata. "Punya orang baik."

"Iya, namanya siapa?"
"Bukan Juli, kan?"

Dua orang itu saling bertatapan, membuat Gara terombang-ambing dalam bimbang. Ia tak tahu apa yang mereka sembunyikan. Tatap itu tak terbaca, tak dapat dieja, sekalipun di sana tertulis rahasia. Gara takut, bagaimana jika dugaan itu benar adanya?

"Kok tiba-tiba tanya gitu? Sini, peyuk Ayah aja, sini!"

Mengapa lama sekali? Padahal, Gara tak sabar mendengar sebuah konfirmasi; sebuah penjelasan kecil bahwa ini bukan jantung Juli. Namun,--

"Iya, ini jantung Juli," lirih Novan yang memeluknya.

Dalam lemas, Gara mematung. Tawa mengalun, menjemput rebas yang runtuh berduyun. Semua jatuh tanpa kerelaan, membasuh pipi dengan bulir air, yang mengalirkan deras kehilangan. Rintih tawanya menyorakkan tangis, merutuk takdir dalam garis-garis lelehan. Tetesnya bergelayut di dagu, mengikat sendu dengan degup waktu yang seakan membeku.

Kebenaran terlalu menyakitkan.

"Ayah bohong, kan?"

"Gara mau Juli, bukan jantungnya Juli."

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang