4. Terlampau Singkat

93 30 38
                                    

Dalam peluk bimbang yang tak kunjung melonggarkan lilitan, ragu itu tumbuh subur dari benih-benih kebohongan. Keyakinannya kembali tenggelam, saat asanya hilang harapan.

"Ayah, Gara bohong sama Juli. Gara bilang kalo kita akan balik setahun lagi. Gara harus tepatin janji, Yah. Setahun lagi kita balik, ya?"

"Kan Ayah udah bilang, kita nggak akan balik ke sini lagi. Jangan bikin Juli berharap gitu dong."

Gara kira, ayahnya akan setuju dengan rencananya. Gara kira, janjinya pada Juli akan membawa mereka kepada jumpa. Nyatanya, harapan untuk kembali tak lagi ada.

"Kalo Gara bilang nggak kembali, Juli sedih nanti. Gara juga lebih suka tinggal di sini."

"Ganteng, kita nggak punya alasan buat balik ke sini lagi," sahut bundanya.

Mata Gara memburam, terlapis cairan. Ditatapnya sang ibu yang tadi berkata tanpa beban. Yang kini membelai rambutnya penuh kasih sayang.

"Gara punya Juli sebagai alasan. Gara pengen ke sini lagi, Bunda. Kita ninggalin Juli di hari ulang tahunnya, harusnya kita balik lagi di tahun berikutnya."

"Nggak bisa, Ganteng. Ayah pasti sibuk kerja. Susah banget buat cari libur panjang. Kalo Ayah ada waktu, kita ke sini lagi, ya."

Gara terdiam, tak berniat membalas ucapan sang bunda. Rasanya, tidak ada yang mengerti apa yang ia rasa. Jika sudah begini, kebohongannya pada Juli pasti sia-sia. Ia takkan kembali, sekedar menengok Juli, apalagi tinggal di sini selamanya.

Gara membawa boneka berwarna abu-abu. Kakinya mengarah kepada rumah sederhana yang sengaja ia tuju. Rumah yang langsung terbuka di kali pertama ia mengetuk pintu. Bukan Juli, melainkan Okta yang membukakan pintu.

"Tante, Juli ada? Beberapa hari ini, Juli kok nggak main ke rumah Gara?

"Ada kok. Masuk aja ke kamarnya." Okta mempersilahkan.

Di depan pintu kamar, ia memajukan kaki. Memasuki ruangan Juli dengan barang-barang tersusun rapi. Dan Juli, anak itu sibuk sendiri. Gara tersenyum, meratapi hadirnya yang tak disadari.

"Jul," sapanya.

Juli menoleh. "Eh, Gara."

Juli membereskan beberapa barang, membuat Gara merasa diabaikan. Apalagi dengan panggilan namanya yang mengalami perubahan.

"Kok manggilnya Gara? Biasanya April, atau Aprilnya Juli. April bawa boneka April juga nih."

Gara duduk pada kasur tanpa ranjang. Matanya masih merekam aktivitas Juli yang penuh kepura-puraan. Meja itu sudah rapi, tapi Juli menyibukkan diri dengan mengacaukan tumpukan buku, lalu menyusunnya lagi.

"Ada tamu masa dicuekin?" Gara lalu mengembuskan napasnya.

Beberapa hari lalu, ia mengatakan jika akan pergi tepat di hari ulang tahun Juli. Mungkin itulah penyebeb Juli seperti ini.

"Ngapain ke sini? Harusnya kamu siap-siap buat berangkat besok. Pulang sana!" usir Juli.

Ada perhatian kecil yang terselip di tengah ketus suara. Gara menekuk muka. Ia hanya ingin menghabiskan waktu yang tersisa, tapi Juli masih bertahan pada dinginnya.

"Belakangan ini kamu jadi cuek. Galak lagi. Kenapa, sih, Jul?"

Juli beranjak dari kursi, merebah di sampingnya, lalu menutupi wajah untuk bersembunyi. Sebelum itu, sempat Gara tangkap bagaimana mata indah itu mengalirkan jernih yang belum berhenti.

"Aku cuma ... cuma membiasakan diri," kata Juli tanpa menatapnya.

"Membiasakan diri? Membiasakan apa?"

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang