Mata itu terkesiap, mengerjap cepat saat kabar besar menyapa tatap netra. Lewat ketik aksara mengudara, ia agungkan sebaris harap, dalam doa tanpa suara. Sementara, khawatir yang hinggap tak juga sirna, sekalipun ia hapus dengan senyum pura-pura. Tanpa tunggu lama, ia dan Janu membelah kota dengan rotasi roda-roda.
Ke rumah sakit; ICU. April di sana.
Tangis bundanya April, makin mengacaukan pikiran Juli. Katanya, April kembali, setelah detaknya sempat hilang dua kali. Kata Novan, jika alat-alat penunjang dilepas, April pasti sudah mati. Juli semakin takut. Ia sering mendengar, jika seseorang masuk ruang ICU, hidupnya tak akan lama lagi.
Nggak!
Pakaian khusus sudah Juli kenakan. Bersama Janu, kakinya melangkah pelan, mendekati April di pembaringan. Ruangannya dingin dan sepi. Hanya denyut EKG yang masih berbunyi membelah sunyi. Kabel-kabel mengerikan menggantung di sana-sini. Dada April yang terbuka juga dipasangi. Sementara, selang oksigen melintang, menampakkan jelas rona yang pasi. Mata sahabatnya itu setia memejam. Tidak ada senyum, nyaris tanpa kehidupan. Juli semakin takut. Sang April yang diam membayanginya pada kehilangan.
Kendati sesak, Juli berusaha tersenyum di balik maskernya. Tangan April yang tak terinfus, ia raih jemarinya. Namun, genggamnya bersambut hampa, bersama dingin yang mengantar panas sampai ke mata.
"Hai," sapanya pelan.
Tak ada balasan, tak ada lesung pipi mengapit senyuman. Rasanya, Juli ingin memberikan jantungnya untuk April, agar senyum itu bisa dinikmati orang-orang. Saat April terbaring seperti ini, tak hanya ia yang bersedih hati. Janu juga. Mata tajam itu mati-matian menahan air mata. Juli kembali menatap tangan yang digenggamnya. Kulit pucat April semakin memudarkan rona.
"April, April-nya Juli. Kenapa gini? Lima hari lagi, aku ulang tahun, loh. Kamu harus sembuh. Aku doain, semoga dapet jantung baru secepatnya."
Dari sekian banyak keajaiban di dunia, bolehkah Juli mengemis satu untuk kesembuhan sahabatnya?
Ia ingin jahat, kali ini saja. Ingin berdoa, semoga ada kecelakaan yang membunuh satu nyawa. Nyawa orang baik yang memberikan jantung sehat untuk sahabatnya.
"Jangan takut, ya. Aku selalu doain yang terbaik. Doa aku pasti terkabul. Kan, aku anak baik," kata Juli.
Juli menoleh, mendapati segumpal beku yang mencairkan lelehan sendu. Sosoknya diam terpaku, dengan mata elang yang mengembun dalam bisu. Juli tahu, bahwa Janu tak sebeku itu. Janu juga manusia, yang kini menanggalkan datar, dan menampilkan sebuah pilu.
"Janu, kamu nggak mau ngomong sama April? Sini, pegang aja tangannya!"
Juli mengarahkan tangan Janu ke tangan April agar bersatu. Dengan ragu, Janu menyentuh tangan pucat itu. Matanya tampak memejam, dengan genggam yang menguat seiring waktu.
"Gara ... April ... April-nya Janu." Suara Janu bergetar kala mengalunkan sapaan-sapaan itu.
"Ah, gue nggak tau, lo siapa, tapi gue takut banget, kalau lo kenapa-napa. Lo harus sembuh, jangan ke mana-mana."
Tumben banget, Janu numpahin gula.
Jika seseorang terlanjur berharga, bayang kehilangan adalah masa depan tersuram yang pernah ada. Saat inilah, segala manis ditabur cuma-cuma, agar tak menyesal jika waktu menyeru pisah tanpa terduga. Namun, bagi siapapun, kehilangan bukanlah asa, meski gurat takdir diam-diam menulis rencana. Walau tak diharap sesiapa, ia tetap datang, mengulurkan tangan, dan mengantar pada hampa.
"Gara, lo pasti dapet jantung lagi, kok. Kalo nggak ada, ambil punya gue aja, gapapa," ucap Janu dengan yakin.
Juli mengembuskan napasnya. Ia tidak mau kehilangan siapapun di antara dua kawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Juli (Terbit)
General FictionAntara terik, ada rintik yang berusaha sembunyi. Sembunyi di detik sepi sekedar menepi. Menepi 'tuk memecah mendung di balik langit birunya selama ini. Dia sang Juli. Jika sinarnya padam, dunia akan dirundung kelam. Gemerlap temaram tak lagi mengisi...