19. Antara Dekap

71 25 61
                                    

Dekap malam teriring sunyi yang memekakkan. Lelap tak kunjung datang, meski mata berusaha memejam. Peluk dingin, mengalahkan tebal selimut pembungkus badan. Sepi pun mengalunkan denting, bersama degup jam yang setia berdentang, yang berdenyut konstan pada detaknya yang lantang.

Bagi Juli, detik terasa pelan. Ia pun membuka mata, menangkap penunjuk waktu yang menunjukkan tengah malam. Karena kantuk tak juga menghampiri, Juli memutuskan begadang malam ini.

"Sepi," gumam Juli.

Juli bangkit, menyandar dinding, pada dekap kesendirian. Antara dekapnya, tiada tenang. Hanya ada gelisah bersama bimbang. Juli pun menghela napas, lalu meraih boneka abu-abu dalam dekapan.

Angan bertakhta, mengambil kuasa sebagai tirani rasa. Laksana raja yang menyiksa suka-suka, angan itu menggerakkan pasukan kelam 'tuk isi hampa, menyusuri lorong memori yang tadi tercipta. Akhirnya, pada henti di relung atma, prajurit lara mulai mendera, menyengaja luka kembali terbuka.

"Julian, maafin Ayah, Julian."

Rasa bersalah Juli semakin kuat menjerat hati. Selalu saja, ia menciptakan luka, meski tak pernah ingin melukai. Namun, ia sendiri juga terluka atas rasa yang sulit dimengerti.

Ia sang Juli, yang terus berdiri meski jatuh berkali-kali. Yang kerap dinafikan, tapi bertahan sepenuh hati. Bahkan, orang-orang menyerukan hilang, termasuk ayahnya sendiri. Lalu, mengapa tidak jadi? Saat ia menolak peduli, saat ia menghapus harap yang terukir abadi, mengapa orang itu datang dan memintanya kembali?

"Bundaaaa, Juli bingung harus apa."

Mengawali bulan Juli, matanya menitikkan deras tanpa sembunyi. Rintiknya kembali, setelah terjeda ribuan detik sebagai spasi. Antara dekap sepi, ia hanyut dalam luapan isi hati, bagai tenggelam dalam air matanya sendiri.

Tak sadar, ia tertidur di entah pukul. Isakannya tak lagi mengalun, meski air matanya belum berhenti turun. Akhirnya, kelopak itu lengket saat bangun. Juli pun membasuh muka, mandi pagi, dan mengawali hari seperti biasa. Bedanya, memilih kembali ke kasur lantai demi kantuk yang minta dimanjakan. Untungnya, hari ini libur, dan Juli bisa tidur seharian.

Juli mengantuk. Kelopaknya memberat, menagih tidur yang sempat terlewat. Sementara, di luar sana, seseorang mengetuk pintu. Juli berdecak, membuka kelopak dengan sayu.

Masih pagi gini, siapa yang bertamu?

"Jul, Juli!"

Juli menjawab, "Masuk aja, nggak dikunci."

Dari pintu yang terbuka, ada sang April yang membawa senyumnya. Ada pula Janu yang ikut serta. Sesaat setelah mereka masuk, ruang itu sedikit berwarna, meski kelabu tetaplah warna utama. Setidaknya, kelabu tak lagi sendiri. Ia punya hitam dan putih yang membuatnya merasa berarti.

"Hai, Juli," sapa April.

Riangnya April ia abaikan. Ia hanya tersenyum kecil, dan kembali memejam. Setidaknya, dua makhluk itu sudah duduk, dan Juli tak perlu mengarahkan.

"Habis begadang, Jul? Kalo tidur jangan malem-malem. Lo bisa sakit."

Nada-nada Janu mengalunkan peduli, menjadi irama paling indah di telinga sang Juli. Bagaimana tidak, jarang-jarang ia diperhatikan seperti ini. Saking senangnya, Juli menegakkan punggung, lalu menyandar Janu tanpa permisi.

"Perhatian banget, sepupu aku ini. Jadi makin sayang."

"Ngapain nyender-nyender di aku? Kayak nggak punya tulang sendiri, kamu!" kesal Janu.

Tawa April menyapa telinga. Warna dunia terhias indah dengan rona bahagia. Juli tak tahu apa sebabnya. Bahkan tak ingin tahu. Yang penting, suram buana tak lagi mendera. Meskipun Juli tak bercahaya, ia berhasil membuat April tak lagi gulita. Bahkan, April menunjukkan sinarnya lewat tawa, membuat Juli ikut tersenyum dengan redupnya.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang