11. Sebuah Mula

89 26 55
                                    

Alas pantofel menjejak lantai sebagai irama. Langkahnya berbelok pada pintu kelas sebelas MIPA tiga, lalu berhenti, dan meliarkan mata. Rambut basah pada kepala di atas meja menjadi fokus utama. Ia mendekat, hingga titik pandangnya bersitemu dengan mata yang baru terbuka.

"Eh, Pak BK. Saya kira hantu, Pak."

Anak itu mengangkat kepala. Wajahnya yang pucat tampak kontras dengan senyum penuh warna. Febri menguasai salah satu kursi, lalu menyodorkan buku merah untuk muridnya.

"Tata Tertib Siswa. Nah, gitu, dong, Pak. Kalo saya tau tata tertibnya, saya pasti berusaha jadi murid teladan," ucap Julian.

"Julian, maafin Bapak, ya."

Menghukum siswa yang tidak tahu aturan merupakan kewajiban, tapi menghukum siswa yang belum tahu aturan merupakan kesalahan. Sialnya, ia baru sadar, dan anak itu terus tersenyum, meski kepalanya kembali diletakkan.

"Maafin saya juga, Pak. Harusnya, saya tanya-tanya tentang aturan sini, sebagai anak baru. Eh, bukunya gratis, kan, Pak? Kalo gitu makasih, Pak."

Febri tersenyum. Anak di depannya tampak kurang sehat, tapi tetap bersuara. Kepala Julian masih bertumpu pada tumpukan tangan di meja, tapi tetap menghadapkan wajah ke arahnya.

"Kamu kenapa belum pulang? Bapak tungguin di pos satpam dari tadi loh."

Julian masih pada posisinya. "Masih males, Pak."

Febri mengangkat tangan, menyentuh kening Julian, tanpa menerima penolakan. Sudah ia duga, demam. Julian masih diam, lalu menggeliat kecil, dengan mata terpejam.

"Pak BK anaknya berapa? Saya ngrasain aura bapak-bapak, nih. Saya suka baper kalo dipegang bapak-bapak, hehe."

Bapak-bapak katanya. Istri saja belum punya. Julian itu aneh, tapi mampu mengembangkan garis tawa. Febri terkekeh pelan, melanjutkan tawa kecil Julian yang lirih tertahan.

"Badan kamu panas. Pasti pusing, ya?"

"Iyalah, Pak. Orang abis kena hujan sekitar setengah jam. Bapak, sih, jahat banget ngasih hukumannya."

Julian membuka mata, lalu menutupnya kembali. Kejujuran Julian membuat rasa bersalah Febri semakin menjadi. Guru BK macam apa dia ini?

"Bapak anterin pulang, ya?" tawarnya lembut.

Febri mendengkus perlahan, saat Julian menggeleng, menyampaikan penolakan. Kemudian, sebuah ide menghias pikiran, seperti lampu yang baru dinyalakan.

"Pulang ke rumah Bapak dulu, ya? Kamu lagi sakit, biar ada yang ngurusin."

"Gausah, Pak. Tinggal tidur aja, pasti sembuh, kok. Saya nggak mau repotin Bapak."

Jeda sejenak. "Kamu sakit gara-gara Bapak. Jadi, Bapak harus tanggung jawab."

Akhirnya, Febri membawa anak itu pulang. Setidaknya, dengan merawat Julian akan mengurangi rasa bersalah yang bersarang. Anak itu sudah mandi, sudah makan, dan kini sedang bermain dengan kucing-kucing miliknya.

Tunggu, kucing?

"Julian, jangan main kucing!"

"Pak BK pelit. Kan, aku cuma pinjem."

Aku?

Lagi-lagi, anak itu membuatnya tersenyum senang. Rasa ingin memiliki itu langsung ada saat Julian menatapnya sebagai akrab yang menyenangkan. Rasanya, Febri jadi ingin punya anak seperti Julian.

"Kamu lagi sakit, jangan peluk-peluk kucing! Ih, bandel ternyata!"

"Bapak galak, sih. Males nurutinnya," ucap Julian yang masih memainkan dua ekor kucing di pangkuan.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang