8. Tentang Rumah

113 32 63
                                    

Suasana kelas masih kental akan euforia jam kosong ala anak sekolahan. Namun, Juli menentang riuh dengan sunyi yang ia ciptakan. Dalam diam, ia hanya bisa memandang April dari kejauhan, menikmati kecewa atas penolakan besar yang April berikan. Terlalu dalam, terlalu menyakitkan bagi hatinya yang baru mencapai ujung penantian.

"Gue nggak pernah kenal sama dia."

Juli mendengkus pelan. Wajahnya tak juga berpaling dari April yang tak lagi memperhatikan. April tak lagi memandang, tak mengizinkan dua pasang mata itu kembali bertatapan. Juli diabaikan, padahal dulu hanya April satu-satunya yang mau mempedulikan.

"Gara-gara si Gara, Juli jadi sedih, nih. Hayoh, Gar. Tanggung jawab, Gar," ucap salah satu teman di sana.

"Heh, yang nggak tau apa-apa mending diem!" Lagi-lagi April menyuarakan tingginya nada.

Semua di kelas ini adalah orang-orang baik. Juli rasa, hidupnya benar-benar terbalik. Dulu, ia diabaikan semua orang, kecuali April. Sekarang, ia dipedulikan semua orang, kecuali April juga.

Dulu, semua orang menganggapnya sampah yang tak boleh ada. Sekarang, ia dijadikan penting, mengabaikan status asing yang selalu Juli sandang sebelumnya. Pengecualian untuk sang April yang tidak Juli pahami sedang kenapa.

"Jul!?" panggil Noval agak keras.

"Ha? Iya? Apa?"

"Daripada bengong, mending ikut kita-kita. Turun, sini!"

Juli menegakkan punggung, memandang bingung ke arah teman-teman yang mengajaknya bergabung. Mereka duduk lesehan, dengan beberapa bungkus camilan di tengah-tengah lingkaran. Ada banyak, dan mereka makan bersama-sama, tanpa peduli siapa yang membelinya. Juli ikut bergabung, membaur bersama orang-orang rakus yang menyodorkan sebungkus keripik kentang.

"Ayo, makan!" ucap seorang bernama Novia.

"Kan aku nggak beli. Emang boleh?"

"Boleh. Siapa aja boleh makan. Gratis kok."

Juli mengambil beberapa keripik kentang dengan tangannya, lalu beralih pada camilan pedas yang memang sudah terbuka.

"Jajanan sebanyak ini, siapa yang beli?" tanya Juli.

"Nggak tau siapa, udah lupa. Yang penting makannya sama-sama."

Juli benar-benar merasakan apa itu bahagia. Ia memiliki banyak teman yang mau menerimanya. Namun, ada yang kurang. April masih berpaling muka. Meruntuhkan susunan bahagia dengan pemberontakan besar yang menyerang pertahanan.

Juli ingat, April pernah datang, membawakannya senyum penuh ketulusan. Juli juga ingat, saat April datang dan menghapus tanggal sial menjadi keberuntungan. Namun, tanggal tiga puluh itu kembali sial saat April memasuki mobil dengan mata berlinang.

Katanya, April pergi untuk memperbaiki detaknya. Dan akan kembali setahun lagi, tanpa kata lupa. Sekali lagi, itu hanya katanya. Nyatanya, April tidak kembali. Juli didustai, tapi tetap menunggu dalam peluk windu sepi. Saat ia datang ke mari, April mengasingkannya tanpa dasar pasti. Lagi-lagi April mengingkari janji. Janji untuk takkan melupa demi persahabatan yang abadi.

Sebanyak apapun ia mengalihkan diri, wajah April selalu menjadi pahatan terdalam pada memori. Lengkap dengan sembilu kata yang April sayatkan sesaat tadi, yang menyisakan perih luka yang menghias hati. Juli sedih, tapi mencari dalih dengan melahap rakus sebungkus makanan yang tadi ia pilih.

"Enak banget, makasih. Eh, aku boleh tanya-tanya, nggak?"

Noval menoleh. "Tanya apa, Jul?"

"Si April ada riwayat amnesia, nggak, sih?"

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang