5. Pekat Kelabu

102 30 69
                                    

Kala langit menanggalkan birunya, dirgantara langsung kehilangan warna. Jingga sore pun hilang rona. Hanya kelabu yang menggantung setia. Menautkan hati dengan raut sendu tanpa cahaya. Muram durja.

Bulan Juli, tanggal yang sama, tahun kedua sejak perginya Gara dengan janji dusta. Juli masih termenung pada bingkai jendela. Tangannya mendekap erat boneka abu-abu pemberian sahabatnya. Sambil tetap berharap akan hadir seseorang yang ia tunggu sejak tahun sebelumnya.

Tahun lalu, Juli berharap penuh akan datangnya sang April untuk sebuah temu. Namun, Gara tidak datang hari itu. Juli pernah marah, Juli juga kecewa, tapi hingga kini masih menunggu.

"April, kenapa kamu nggak balik?"

"Boneka April, kenapa April nggak balik?" tanya Juli kepada bonekanya.

Kini, hanya boneka bernama April yang menggantikan Gara––Aprilnya. Yang menghapus kata sendiri, menemani Juli yang terjebak sunyi.

"Juli, tutup jendelanya! Hampir gelap ini."

Seruan dari dapur membuat Juli mengembuskan napas panjang. Namun, ia menurut, menutup perlahan kaca jendela yang mulai usang. Padahal, ia suka menyatu dengan gelap malam, membayangkan pecinta hitam itu datang, dan menjadi teman.

Juli itu setia. Setia menunggu orang yang pernah membuatnya kecewa. Padahal, penantian panjangnya selalu sia-sia. Modalnya hanya percaya. Percaya akan kekuatan janji yang mengalahkan segalanya.

April pergi, tidak kembali, apalagi menepati janji. Kembalinya ia hanyalah harapan tanpa nyata. Datangnya ia hanya pada malam sepi nan gulita, pada tidur Juli yang berbunga.

"April, udah malam, tapi kamu nggak datang. Harusnya, kamu udah di sini dari tahun lalu. Nggak kasihan apa, aku sama boneka April nunggu?"

Juli menatap boneka abu-abu. Membayangkan, seakan Gara yang ia ajak bicara itu. Matanya berkaca-kaca, tapi kecewanya tak juga mengalahkan rindu. Sahabatnya itu mengingkari waktu. Melupakan janji, membiarkannya lama menunggu.

Sang April melupakan Julinya, tapi aku tidak akan melupakan janjinya. Dia akan kembali, semoga.
(Sang Juli)

"Juli, lagi sedih, ya?"

Air mata itu Juli hapus secepatnya. Namun, bibinya lebih dulu tahu tanpa Juli bercerita. Okta duduk di kasur itu, menemani Juli di sampingnya.

"Ih, Tante kok ke sini, sih? Kan Juli lagi nangis. Malu tauk," ucap Juli.

"Malu? Tante sembunyiin, sini."

Okta menyembunyikan Juli dalam pelukan. Juli pun melepas tangisan, meramaikan detik sepi yang menjadi teman. Kini, semua rasa terlampiaskan, bersama Okta yang memberi nyaman.

"Tante, Gara nggak balik. April nggak balik. Udah dua tahun, tapi April nggak balik."

Tidak ada yang perlu ditahan. Juli menangis keras, melepaskan beban. Kerinduannya pada Gara semakin kuat dan menyesakkan.

"April belum sembuh apa gimana, sih? Atau, April lupa sama Juli? April jahat banget, ya, Tante?"

"Enggak, April nggak jahat. Buktinya, April ninggalin bonekanya buat nemenin Juli. Juli nggak sendirian, ada Tante, ada boneka April juga," hibur Okta.

Tahun demi tahun berlalu. Setiap Juli adalah kelabu. Pun sama dengan sang Juli yang terus menunggu, terus berpegang pada janji abu-abu. Nyatanya, Gara mengingkari janji, membuat Juli menikmati pahit kecewa berkali-kali.

Tahun ke-lima. Aku menunggunya di tempat yang sama, memegang janji yang sama, dengan keyakinan yang masih sama. Keadaannya pun masih sama, dia tidak datang.
(Sang Juli)

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang