15. Tentang Hilang

74 27 65
                                    

Setangkai merah teriring harum mewangi malam. Seri indah menyungging senyum, menyaingi pesona mawar yang tergenggam. Derap langkah terdengar, bersama harap yang terus menguar. Di tengah gundah, ada tabah beriring tegar, menyembunyikan bayang patah kembali terputar.

Semoga tidak lagi.

Kali ini, ia memilih kembali. Kembali pada rumah yang masih menutup diri. Namun, tak dapat dipungkiri, meski penolakan telah ia terima berulang kali, rasa takut itu tetap ada bagai jerat kecil serupa tali.

Langkah Juli sengaja berhenti. Napasnya mencicip wangi, menuntun nyali kembali terisi. Jaket pun ia lepas, ia sampirkan di sebuah kursi. Buku jarinya mengetuk pintu, menunggu eksistensi yang sama-sama semu.

"Mau apa ke sini?"

Memang benar, ayahnya terlalu semu untuk dimiliki. Setelah membuka pintu, orang itu menunjukkan beku yang tak tertembus terik sang Juli.

"Nagih lamaran, Yah. Gimana? Ayah mau terima aku, kan?"

Senyum Juli mengembang. Tangannya menyodorkan setangkai mawar merah untuk Febrian. Hangatnya terpampang, menentang kobar dingin dari beku yang menolak padam.

Tatap jijik itu Juli terima tanpa penolakan. Mungkin, ia memang menjijikkan, berlumur dosa, dan tak pantas mendapat penerimaan. Namun, siapa juga yang ingin hadir tanpa diharapkan?

"Ayah Febrian, aku bawain mawar lagi, nih. Diterima, ya?"

Tak mendapat respon maupun jawaban, Juli menghela napas pelan. Matanya menatap dalam pada sosok gagah yang masih terdiam.

"Ayah, kok diem? Aku anak Ayah, kan?" tanya Juli.

"Saya bukan ayah kamu."

Pandang Febrian meninggalkan Juli dengan sakit mendalam. Harusnya, Juli terbiasa dengan apa yang ia dengarkan, dan tak lagi terluka atas sebuah penolakan. Harusnya, ia semakin kuat dengan tajam-tajam penusuk hati, semakin menikmati akan manisnya kata benci. Namun,––

Maaf, rasaku belum mati.

"Ha? Bukan anak Ayah? Terus, aku anak siapa?" Juli lalu tertawa.

"Anak jalang!"

Dingin dan tajam, merasuk masuk, menusuk relung terdalam. Jika orang lain yang mengatakannya, efek itu tak akan terasa. Namun, kali ini berbeda. Tentu saja, efeknya luar biasa.

Memang tak salah, Juli adalah anak seorang jalang. Anak haram yang tak pernah diharapkan. Anak yang hadir tanpa simpul pernikahan. Dia sang Juli, sosok semu penuh juang, yang mengejar semu lain demi sebuah pengakuan.

"Anak jalang? Ya udah, jadiin aku anak Ayah juga. Ayah, mau nggak, jadi ayahnya Julian?"

Lembut suara Juli tak juga melunakkan Febrian yang beku hati. Kini, jantung Juli berdebar merdu, menunggu jawab semu yang belum pasti.

Duh, kek nembak cewek aja.

"Berhenti kayak gini, Julian! Saya bukan ayah kamu. Saya nggak mau ngurus anak jalang seperti kamu," geram Febrian.

"Tapi, aku anak Ayah, kan? Ini, bunganya diterima dulu."

Febrian tampak menegangkan rahang. Namun, raut frustasi itu mendominasi penuh kegelisahan.

Juli berdoa dalam hati, semoga malam Minggu ini menjadi awal dari berpulangnya rindu kepada rumah yang menjadi tuju. Namun--

"Saya bukan ayah kamu, Julian! Saya nggak bisa terima kamu. Sadar, nggak, sih, kalo hadirnya kamu itu bikin saya terluka?"

Lantas, apa hanya ayahnya yang berhak memaparkan luka? Bukankah Juli lebih terluka, dengan hadirnya sendiri yang jelas-jelas hanya sekeping dosa?

"Salah banget, ya, kalo aku ada?" lirih Juli yang tersenyum hambar.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang