Irama napas mengalun lembut, pada hela yang dihembuskan. Setiap tarikan, ada detak konyol yang mati-matian dipertahankan. Jika suatu detik menghentikan detaknya, ia akan kehilangan semuanya. Kehilangan semua tawa yang pernah ia cipta. Kemudian, perginya menyisakan rintik duka, mencipta kehilangan yang pasti terduga.
Apakah dua kawannya itu akan siap, jika ia pulang begitu saja? Namun, kalimat pamit yang ia ucap, tak juga dapat melipur mereka. Kala ia mengucapnya, selalu ia tangkap sendu pada tatap mata. Sendu yang menahan, meski ia harus cepat tiada.
"Dor ...!"
Sontak, ia terkesiap dari lamunan. Isi dadanya berdetak sangat kencang, hingga sedikit sesak dan kesakitan. Gara meringis tertahan, mendesis pelan, dan memegang pusat sakit itu dengan tangan kanan. Sementara, pengganggu itu mulai menunjukkan kekhawatiran, membuat Gara merasa lucu dengan tingkah sang teman.
Kagetin sendiri, khawatir sendiri. Dasar, Juli!
"Sorry, sorry. Kamu ngelamun, sih. Nggak taunya, jadi kumat gini."
"Lo mau gue mati cepet, ha?"
Gara terkekeh pelan, dengan tangan bergetar yang langsung Juli genggam. Akhir-akhir ini, ia mudah kambuh. Takkan sembuh jika tak dapat jantung pengganti. Tak jemu, ia terus menunggu, dan mempertahankan degup sementara waktu. Ia ingin sembuh, ia harus bertahan sebentar lagi. Menikmati detak mengerikan, yang kadang melantang, kadang memelan seakan berhenti.
"Maaf banget, Pril. Masih berdetak, nggak? Haduh, pasti kaget, tadi." Juli terlihat panik.
Rasa sakit itu tak kunjung sirna, meski Gara telah berusaha mengatur napasnya. Sekarang, ia memilih bersandar di bahu Juli, mencari tenang antara ketidaknyamanan yang belum pergi.
"Kenapa, Gar?" tanya Janu yang baru memasuki ruang.
Saat ini, mereka bertiga mengisi kamar Janu yang super besar dan hampa. Dindingnya putih bersih, sama seperti warna pakaian di tubuh pemiliknya. Mungkin, sama juga dengan orangnya, berkulit putih tanpa noda, dengan hidup monoton tanpa warna.
"Biasa, dikagetin Juli aja langsung kumat, Jan."
Suatu hari, tanpa Juli tahu, Gara pernah bertanya kepada Janu, apakah hitamnya mengganggu putih sempurna milik Janu?
Kurang lebih, Janu menjawab, bahwa hitam itu adalah warna baru, yang mengisi kosongnya Janu bersama Juli yang kelabu. Memang, Janu tak pernah berkata seterang itu, tapi Gara selalu tahu, bahwa sahabatnya itu takut kehilangan. Terlihat dari perhatian yang tertampil malu-malu.
Bukannya gue kepedean, tapi kata Juli, Janu emang gitu.
"Sana, tiduran kasur! Untung masih idup, kalo mati di sini, gue ogah nganterin ke kubur."
Itu salah satu buktinya. Meski terlontar datar tanpa nada, ada perhatian yang Janu selipkan di sana. Gara menggeleng, memilih paha Juli untuk membaringkan kepala.
"Di sini aja, sama Juli. Ya, Jul, ya? Tangan lo, siniin! Gue lagi manja, nih." Tangan Juli ia tarik ke tengah dadanya.
"Jul, lain kali jangan nakal, dong. Itu detak berharga, loh. Emangnya, lo mau kalo Gara kenapa-napa?"
Gak adil! Ke gue, sungut-sungut. Ke Juli, ngomongnya lembut.
Dinasihati dengan lembut, Juli malah cemberut. Iris cokelat itu menatapnya, menunjukkan rasa bersalah yang tak masalah baginya.
"Maaf banget. Kamu tenangin diri, biar detaknya bagus lagi. Lain kali, aku nggak akan kayak tadi," ucap Juli.
"Gapapa, Juli. Emang dasarnya, ini jantung gampang kambuh. Tapi, gue gapapa kok. Abis lo pegang, sakitnya berkurang. Lo hebat, Jul. Kayak dukun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Juli (Terbit)
Fiksi UmumAntara terik, ada rintik yang berusaha sembunyi. Sembunyi di detik sepi sekedar menepi. Menepi 'tuk memecah mendung di balik langit birunya selama ini. Dia sang Juli. Jika sinarnya padam, dunia akan dirundung kelam. Gemerlap temaram tak lagi mengisi...