10. Mengukur Jarak

78 26 19
                                    

Jarak menghampiri, menyusun bentang panjang tak terukur meter dan senti. Jarak tak kunjung pergi, menjadi sekat tipis antara sang April dan Juli. Gara takut. Takut jika––

Jarak yang menghampiri. Menuntun pergi pada nyaman enggan kembali.
(Sang April)

Tidak. Namun, ia masih perlu berdamai dengan diri. Rasanya, masih sulit memaafkan hati yang pernah mengkhianati. Tentang dusta-dusta yang sembunyi sebagai janji. Tentang kecewa yang ia cipta dengan janji yang ia ingkari.

Gara terlalu berdosa pada Juli. Namun, Juli tak menampakkan sisi gelapnya. Yang ada hanya cahaya. Gemerlap redup, penghias gulita. Mengapa? Mengapa Juli bersikap biasa, padahal Gara berulang kali menyakitinya? Dan, mengapa jejak-jejak sesal itu kian menyiksa kala melihat Juli yang berusaha baik-baik saja?

"April, aku nemu penggaris. Bisa nggak, buat ngukur jarak di antara kita?"

Setelahnya, tawa. Tawa aneh Juli dengan makna tak terbaca. Gara menyeringai, mempertahankan jiwa pada jarak yang ia cipta. Namun, tak dipungkiri, ia ingin jarak itu hilang seperti sedia kala. Meski harus bertahan sebentar bersama serpihan hati yang pernah ia pecahkan, hingga menggores dirinya.

"Ngukur jarak? Nggak akan bisa!"

Tanpa mempedulikan ucapnya yang tajam, Juli mendekat, menekan jarak, hingga lengan mereka saling bersentuhan. Seakan-akan, Juli datang untuk menagih kerinduan, melepas angan selepas penantian panjang.

"Iyalah, nggak bisa diukur. Orang kita sedekat ini," ujar Juli.

"Apaan lo deket-deket!?"

Ia mendorong Juli, mengembalikan jarak di tempat tadi. Berdekatan dengan Juli hanya menambah rasa sesalnya kembali. Harusnya, Juli mengerti, bahwa Gara butuh waktu untuk sendiri.

"Galak banget. Kalo aku kebentur lantai, terus amnesia, terus lupain kamu, gimana? Dilupain itu sakit, Pril."

Sendu itu nyata. Dari situ, Gara tahu, Juli kembali tersakiti olehnya. Lantas, ia harus apa?

"Gue Gara, bukan April!"

Juli tersenyum. "Sama aja. Tapi tetep, kamu April. Aprilnya Juli, sahabatnya Juli. Besplennya Juli. Iya, kan? Gelang kita aja sama, hehe."

Senyum itu masih sama. Tulus itu tetap ada, bersama binar penuh warna yang ahli menyembunyikan rasa kecewa. Namun, Gara masih kecewa. Kecewa padanya sendiri, yang meninggalkan Juli bersama dusta.

"Nggak! Gak usah gangguin gue! Gue benci sama lo! Gue banci sama gelang ini!"

Gelang hitam berinisial J itu ia lempar tepat di depan Juli. Pada lantai putih yang ia duduki sedari tadi. Dari balik bening yang membingkai matanya, Gara lihat sendiri bagaimana Juli mati-matian mempertahankan topengnya. Dan, Gara benci dengan kata 'pura-pura'.

Sekalipun lidah sendiri yang mengatakannya.

"Gue benci sama lo, Jul! Gue benci semua tentang lo. Gue benci ... sama gue sendiri."

Kalimatnya melirih pada ujung. Menyerahkan diri pada arus tanpa bendung. Sedari tadi, irama hujan mengalun. Kini, sang April turut memecah mendung. Mengalahkan deras Januari dengan teduh yang tiada lagi.

Ia kira, Juli akan mengambil gelang tadi, tapi anak itu mendekat. Mengambil tempat dengan berlutut kaki. Diamnya menggemakan sepi, membiarkan sendu meriuh merdu bagai melodi.

"Lo apain, Jul?" tanya Novia, teman sekelasnya.

Juli tersenyum kikuk, menoleh ke barisan depan. Karena, mereka ada di belakang. Ruang itu penuh orang. Teman-temannya tidak keluar karena hujan.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang