14. Arti Berhenti

87 28 50
                                    

Pada irama detik yang setia bernada, ada sebuah iri dari jantung yang tak sempurna. Detaknya terlalu gila, tak pernah seirama dengan detik jam di dinding sana.

Pada ruang rawat ini, ia kembali. Kembali menempatinya untuk memulihkan detak tanpa abadi. Sakitnya sudah tak separah tadi pagi, tapi detaknya sendiri adalah hal utama yang paling ia takuti. Apalagi, melodi brutal itu bisa kapan saja berhenti.

"Ganteng, masih sakit, nggak?"

Ia menggeleng, membuat sang ibu menyingkirkan tangan dari dadanya. "Udah nggak papa. Bunda laper, ya? Perutnya Bunda bunyi, tuh. Bunda makan dulu aja."

"Nanti aja," balas bundanya sambil tersenyum.

Ia yang penyakitan, ternyata sangat merepotkan. Ia yang sakit akan terus diperhatikan, hingga yang memperhatikan mengabaikan diri demi si penyakitan. Sungguh, Gara ingin cepat sembuh.

Ini aja udah makin parah, duh.

Tiba-tiba, seseorang membuka pintu, menimbulkan decit yang membelah bisu. Gara menoleh, mendapati seseorang dengan rona biru, yang kini mendekat, membawa senyum madu.

"Halo, Tante Maya. Apa kabar?"

"Tante baik, Jul."

"Gue nggak disapa?" tanya Gara pelan.

Juli sudah duduk menduduki kursi di dekatnya. Bundanya sudah ke kantin, menyisakan ia, dan Juli yang kini meletakkan buah tangan berupa roti.

"Aku nggak beli buah. Nggak nemu penjual buah. Adanya roti, dimakan, ya."

Gara memejamkan mata, saat rasa pening kembali menyerang kepala. Badannya masih lemas, nyeri dada itu masih ada, meski sensasi sesak telah sirna. Intinya, ia tidak baik-baik saja.

Nggak pernah baik-baik aja.

"Jul, lo belum nyapa gue."

Terdengarlah tawa dari Juli. Kemudian, Juli mengangkat tangannya, mendaratkan pada dahi Gara yg terhias poni. Gara pun membuka mata, kala rambutnya disingkap pelan oleh Juli.

Tawa itu, masih sama. Masih menjadi hal utama yang paling Gara suka. Seri wajah itu, adalah cahaya bagi gelapnya. Gara juga suka saat Juli bersuara. Terdengarlah riangnya, berbalut lembut dalam ceria.

"Oke. Ehem .... Halo, April, apa kabar?"

"Nggak baik, makin parah. Tadi pagi aja tetiba kumat gini. Nggak jadi sekolah, malah ke sini. Gue lemah banget, ya?"

Masih tersenyum, Juli menggeleng pelan. Mata Gara yang sayu temaram bertemu pandang dengan sorot Juli yang benderang.

"Nggak, April nggak lemah. April kuat. Janji sama aku, jangan pernah berhenti, ya?"

Mata Gara berbingkai kaca. Merasa tak sanggup menahan segalanya. Bersama Juli, ia bersedia membagi rasa, baik itu bahagia, maupun lara.

"Gue takut, Jul."

"Mana yang bikin kamu takut? Bagi sini! Ini nyeri, ya? Aku giniin, enak enggak?"

Tangan Juli sudah bertengger di dadanya. Kini, nyerinya lumayan hilang saat ujung-ujung jari Juli bergesekan pelan dengan dada yang tertutup piyama. Memang, ia hanya butuh tangan orang lain untuk membuat sakitnya mereda.

"Jangan takut. Nggak usah nangis, nanti sesek, loh," kata Juli.

"Detaknya makin serem, Jul." Air mata Gara menetes sepenuhnya.

Ia mempertahankan detak ini bertahun lamanya. Harusnya, ia terbiasa. Namun, rasa takut itu tetap ada. Menghantuinya dengan bayang kematian tanpa rencana.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang