12. Terliku Luka

83 29 51
                                    

"Jul, gue nggak suka detaknya. Gue takut."

April masih orang yang sama, yang berterus terang kala sakit hinggap di dada. Detak itu pun masih sama. Sama seperti saat pertama Juli menemukannya. Katanya, beragam operasi hanya memulihkannya sementara. Katanya, anak itu sedang menantikan jantung lain, yang tak kunjung ada. Juli merasa kasihan, April harus berjuang mempertahankan detak kacau tanpa irama.

"Jul, kalo gue mati bentar lagi, lo gapapa, ya? Lo udah punya banyak temen. Ada Janu juga."

Ini yang Juli tak suka. Saat April mengatakan tentang waktunya yang tak lagi lama, saat gelapnya April kian pekat tanpa secercah asa. Tidak ada yang bisa Juli andalkan selain doa. Ia hanya ingin April sembuh dan bahagia.

"April, kamu mau nakal? Mau ninggalin aku? Nggak boleh nakal, nanti nggak dapet pahala. Hidup dulu, ya. Matinya kalo udah tua aja, oke?"

"Capek tauk, Jul. Detaknya malesin. Kadang teratur, kadang jelek gini. Pengen gue hentiin aja," kata April.

"Ssttt ..., nggak boleh gitu." Juli menarik tangannya, mengambil tisu untuk menyeka keringat sahabatnya.

Saat ini, mereka berada di UKS, dengan April berbaring di ranjang, dan Juli duduk di tepian. Ada pula Janu, yang sibuk memainkan gorden tanpa ingin mencampuri pembicaraan.

"Jan, lo anak PMR, jagain gue apa jagain gorden? Sini napa?"

Dari pojokan, Janu menoleh, memandang sekilas sebagai balas sebuah panggilan. Juli tahu, Janu pasti sengaja menjauh karena takut April marah-marah lagi. Memang, April itu mudah emosi, tapi cepat membaik seiring waktu dan kondisi.

"Males. Ntar lo marah-marah lagi," ucap Janu.

"Ya udah, gue minta maaf."

Janu mendekat, menduduki sebuah kursi. Ia berusaha mencari sibuk dengan mengamati sekeliling yang memang sepi. Sepertinya, sang Januari terlalu asing berada di tengah-tengah April dan Juli.

"Jan, dimaafin nggak, nih?"

"Iya."

Entah Janu yang tak pandai bicara, atau pertanyaan April yang terlalu pasti jawabannya. Padahal, Juli suka dengan sosok yang banyak bicara. Bukan berarti ia tak suka Janu, tapi ia ingin Janu sedikit lebih ceria.

"Senyum, dong! April, ajarin Janu senyum," suruh Juli.

"Gini, hmmm ...." April tersenyum hingga memejamkan mata.

Senyum itu masih sama. Senyum itu, lengkung indah yang paling Juli suka. Saat melihatnya, Juli turut tersenyum juga. Juli suka saat sahabatnya itu bisa menampakkan senyum tanpa paksa. Yang ia tahu, April bukanlah penyembunyi rasa, takkan tersenyum kala lara menyapa. Selama dua cekung manis itu masih tertangkap mata, Juli harus bisa membalas senyumnya.

"Liat, Jan. April ganteng kalo senyum. Aku pegang boleh, ya, Pril?"

Dua ujung telunjuknya diputar-putar di lesung pipi April yang menggemaskan. Juli bahkan tertawa kecil, dengan April yang diam tanpa perlawanan. April membuka mata yang tadi memejam, melirik Janu yang sedari tadi memperhatikan.

"Janu kenapa liat-liat? Lo nggak punya, kan? Atau, lo pengen pegang juga? Sini, sini!"

Janu hanya menatap aneh pada April yang kelewat percaya diri. Satu yang Juli pahami, bahwa April mulai menyediakan tempat bagi sang Januari. Begitu pula Janu, putihnya membiarkan sang Hitam menghiasi.

Tangan Janu terangkat tinggi. Telunjuk dan ibu jari mendarat di pipi April sebelah kiri. Ia mencubitnya gemas, agak keras. Setelahnya, ia tersenyum penuh rasa puas.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang