17. Arti Hadirnya

71 24 76
                                    

Langkah kakinya diperlambat menuju henti. Air mata pun dibiarkan jatuh tanpa sembunyi. Mengiring khayal yang meliar pada indah yang hanya mimpi. Berharap ayahnya datang, menarik tangannya, dan melarang pergi. Mungkinkah itu bisa terjadi?

Mimpi, Jul, mimpi!

Namun, tangan siapa ini, yang menepuk pundaknya, sesaat setelah ia berhenti? Benarkah itu sang Februari?

"Jul ...."

Tampaknya, ia berharap terlalu tinggi. Sekarang, ia kecewa, bukankah itu merupakan konsekuensi?

"Kamu ngikutin dari tadi?" tanya Juli sambil mengusap air mata.

Orang itu tersenyum dan merangkul pundaknya. Juli diajak duduk di bangku trotoar, dan menolak tanpa bisa. Juli menunduk saja, menyembunyikan bekas air mata yang menjejak menoreh sisa.

"Hehe, iya. Dari tadi, gue liatin dari sini."

Itu April, sahabatnya yang ada tanpa diminta. Harusnya, Juli bersyukur atasnya, tapi ia tak pernah suka saat orang lain melihat air matanya. Karena, ia adalah sang Juli, yang tak pernah cocok dengan rintik dari mata. Ia sang Juli, harus tampil dengan terik tanpa menunjukkan kelabunya.

"Lo tadi nangis, Jul?

"Enggak! Nggak nangis!" bantahnya.

"Bohong! Gue liat semuanya."

Memalukan!

Betapa malunya Juli saat mengingat kelam malam ini, eskpresinya yang menjijikkan, dan drama yang ia tampilkan. Sekarang, tiada gunanya menyembunyikan. Jikapun April mengetahuinya, ia tidak akan diejek, kan?

"April, aku milih berhenti. Menurut kamu, gimana?"

Senyuman April menghias pandangnya, menyuguhkan manis sepenuh gula. Namun, tidak ada pendapat yang April gambarkan di sana.

April berkata, "Lo lebih tau, tentang yang terbaik buat diri lo sendiri, Jul."

Sekarang, Juli menyesal telah memutuskan tanpa pikir panjang. Ia memilih berhenti berjuang, lalu bagaimana jika sekelumit rindu tumbuh, berkembang, lalu brutal menyerang?

"Jul, lo tadi diapain aja sama Pak BK?"

Bukankah pertanyaan itu berupa retorika? Katanya, April melihat semuanya. Jika Juli menjelaskan lagi, bukankah itu sia-sia? Untuk itu, Juli diam saja, membiarkan hening meraja, menyusun sunyi memeluk jiwa.

"Jul, lo nggak disuruh hilang lagi, kan?"

"Lo nggak diusir lagi?" lanjut April.

Bohong jika April melihat semuanya. Nyatanya, tanda tanya terus mengudara, menuntut jawab yang belum berkata. Berarti, Juli beruntung, karena salah satu aibnya masih terjaga.

"Enggak, kok. Orang, aku sendiri yang milih pergi."

Juli pergi, karena sadar diri. Sadar jika dirinya hanya pembawa luka, yang kian menetap, kian menyakiti. Ia sang Juli, yang kata orang, hadirnya tak berarti. Namun, bagi ayahnya, ia adalah lara, duka, dan luka penuh arti.

"Yang penting, lo nggak disuruh hilang lagi," ujar April.

"Emang, kenapa?"

"Karena ... Karena ...."

Kata itu berhenti setelah panjang di akhir suku kata. Juli ingin tahu lanjutannya, tapi April malah diam dengan senyum jahilnya.

"Karena apa?" tanya Juli bingung.

"Karena lo nggak pantes hilang, karena lo berharga."

Juli memilih hampa 'tuk isi pandang. Melambungkan pikiran pada kata 'berharga' yang baru ia dapatkan. Kemudian, bibirnya membentuk lengkung senyuman. Menyadari arti hadirnya, yang ternyata berharga bagi beberapa orang.

Sang Juli (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang