7; - Berkumpul -

562 71 3
                                    

'Jika semua kenangan di ciptakan untuk di lupakan, lalu untuk apa ada sebuah kenangan?'

Tiga bulan sudah berlalu, dua minggu lagi sekolah si kembar akan melaksanakan ujian tengah semester. Jadi, mereka sudah sibuk mempersiapkan diri dan materi yang akan di pelajari. Masuk terlambat tidak menjadikan si kembar sebagai siswa yang tertinggal, mereka cukup pintar dan  belajar dari berbagai sumber sampai memahami materi. Ditambah empat teman mereka sangat membantu.

Hari ini mereka berada di rumah Riski untuk belajar kelompok, kegiatan rutin bagi mereka sejak sebulan yang lalu dan selalu bergiliran. Rumah Riski ini berada di komplek elit sudah dipastikan keluarga Riski orang kaya, kalau kata Irfan kamar milik Riski itu seluas kamar dia, Jeriko dan Reiko kalau digabungi. Uniknya, kamar Riski berada di lantai tiga dan tidak ada ruang apapun lagi selain kamar Riski di lantai itu.

Baru memasuki kamar Riski, mata Jeriko terpaku pada lemari pendingin yang berada di sudut kamar, “Baru dua minggu gak kesini, kamar lo udah ada kulkas aja?”

“Kita kan juga punya Jer,”

Jeriko menatap kembarannya itu dengan malas, “Di kamar kita tuh adanya dispenser, mana ada kulkas.”

“Itu baru beli beberapa hari yang lalu, kata papa sih biar gak perlu ambil makanan atau minuman di bawah kalau ada temen main.”

“Baik banget papa lo, tau aja kita butuh konsumsi,” Danny yang lagi membuka isi lemari es tersenyum.

Juno menggeleng melihat kelakuan Danny yang selalu bahagia saat bertemu makanan, “Temen komplek lo pasti sering main ya? Anak orang kaya berkumpul semua dong.”

“Malah gak punya temen gue disini, liat aja pagernya tinggi-tinggi terus jarak rumahnya jauh banget.”

“Emang anak mudanya gak ada?”

“Ada, tapi mereka kayak geng gitu karena keluarga mereka kaya-kaya jadi mainnya ya ngabisin duit gue gak suka yang kayak gitu.”

“Tapi kalau lo ngundang kami tiap hari juga namanya ngabisin duit” Ucap Irfan sambil melirik Danny yang sudah mulai makan.

“Gapapa, itung-itung sedekah.”

“Eh ayo cepet mulai belajarnya udah mau jam 5,” Irfan menatap temannya yang malah asik makan.

"Lupa," Ucap Reiko langsung membaca buku. Begitu juga dengan yang lain.

Hari mulai gelap, sudah jam 6 sore tapi Reiko dan Jeriko masih di jalan mengayuh sepedanya dengan pelan. Sesekali berbicara dan melepas tawa. Tiba-tiba Jeriko menghentikan sepedanya, mengambil obat dari tas. Tanpa air minum ia menegaknya sekali dua obat. Reiko yang tidak mendengar suara sepeda Jeriko langsung berhenti dan menatap kebelakang, terlihat Jeriko yang sedang mengatur nafasnya.

Dengan cepat Reiko menghampirinya, “Mau istirahat dulu?”

“Lanjut aja,” Jeriko sambil tersenyum.

“Kamu duluan.”
Jeriko mengangguk lalu melajukan sepedanya, padahal sebentar lagi mereka sampai dirumah bisa-bisanya penyakit itu kambuh di jalan.

Setelah sampai di rumah mereka segera membersihkan diri, sholat dan bersiap untuk makan malam.

Jika sudah kambuh beginu Reiko akan terus melirik Jeriko, memastikan kembarannya itu baik-baik saja. Sejak pulang Jeriko hanya diam bahkan sekarang mereka berdua sedang turun tangga, Jeriko tetap diam.

“Jeri, gapapa?”

“Gapapa,” Jeriko tersenyum dengan wajah pucatnya.

“Maaf ya, belum bisa jadi kakak yang baik ingetin adiknya aja gabisa.”

Untuk ReJerikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang