1

320 39 4
                                    

—Fira's

Gue nggak mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk seputar perkuliahan. Dari awal repotnya persiapan UN, galauin nilai, SNMPTN, SBMPTN, dan keresahan akan masa depan waktu pengumuman SNMPTN gue berwarna merah, sampai akhirnya sekarang bisa sampai ke semester 3 perkuliahan, gue nggak pernah punya bayangan yang macem-macem.

Bayangan tentang kehidupan perkuliahan yang seseru FTV, novel, atau fanfiction.... No, gue nggak pernah membayangkan hal itu.

Bahkan disaat teman-teman gue bingung mau daftar HIMA atau BEM, ikut UKM apa, atau daftar oprec yang mana, gue nggak punya minat sama sekali. Prinsip gue selama hidup adalah let it flow. Bukan berarti gue gak punya ambisi, tapi gue memilih untuk ngejalanin yang pasti-pasti aja dulu. Kewajiban dulu dikelarin, baru deh mikirin ikut kegiatan apa.

Gue nggak mau kayak kating yang waktu ospek paling keras menyuarakan mahasiswa harus begini, begitu, tapi ngulang di kelas adik tingkat. I know, ada banyak faktor kenapa mahasiswa harus mengulang mata kuliah. Yang ini gue tujukan untuk mereka yang udah mah ngulang, sering bolos, dan kalau ada tugas kelompok numpang nama doang.

Katanya udah mahasiswa? Tanggung jawabnya mana? Kalau sesederhana masuk kelas aja dia abaikan, gimana dengan kewajiban yang lebih besar?Di kepanitiaan? Atau organisasi?

Ngomong doang emang paling gampang sih ya.

"Liat, keren banget nih essay gue ada doodlenya."

Gue menoleh ke arah Tara, yang baru saja keluar dari Ruang Dosen untuk konsul seputar tugas essaynya. Seharusnya kita ada kelas writing, tapi dosennya minta kelas diganti dengan konsul perihal tugas essay yang kita buat minggu lalu. Sekarang anak-anak kelas gue lagi ngampar di dekat Ruang Dosen nunggu giliran.

"Kalau Grammarly wujudnya orang, gue yakin udah sungkem sama si Bapak," celetuk Nugi, teman gue yang satunya.

"Tara aja dikasih hadiah doodle, gimana punya gue? Digambarin kaligrafi kali ya?"

Gue nggak bisa mengontrol tawa mendengar celetukan dari teman-teman barusan. Dosen yang satu ini emang kelewat teliti, bahkan matanya bekerja lebih cepat daripada software pendeteksi grammar. Tapi beliau baik kok, justru kita diajarkan untuk lebih berhati-hati dalam penulisan.

Punya gue gimana? Sama aja kok kayak Tara. Ada beberapa kosa kata yang harus diganti, dan susunan kalimat yang harus diringkas supaya lebih makes sense untuk dibaca. Oh, penempatan titik dan koma juga harus diperbaiki.

Selamat datang di kehidupan mahasiswa Sastra!

"Kantin yuk!" ajak gue ke Tara, Nugi, dan beberapa teman yang lain. Kebetulan kami sudah mengantri dari awal supaya selesai duluan dan bisa cuuuusss langsung ke Kantin buat makan siang. Seporsi mie yamin ditambah dua sendok sambal sudah memenuhi pikiran gue sejak satu jam yang lalu.

"Disini aja ya?"

Kami cukup beruntung karena bisa dapat kursi di Kantin. Jam makan siang begini hampir mustahil bisa dapat kursi. Gue langsung mengeluarkan hand sanitizer untuk menyemprot meja, disusul Tara yang bersiap dengan tisunya.

Pada akhirnya, gue ke Kantin cuma sama Tara, Nugi, dan Tyo yang lagi melipir dulu ke toilet. Mereka bertiga adalah sohib gue selama kuliah, klasik banget alasannya: karena NIMnya berdekatan, satu dosen wali, dan sering sekelas. Empat semester pertama, jadwal kuliahnya masih dipaketin. Sebenarnya ada satu lagi, Ibas, tapi dia nggak ikut kelas karena ketiduran di Kosan.

Gue bersyukur bisa kenal mereka. Karena kalau enggak, kayaknya gue nggak akan bisa survive deh. Teman-teman SMA gue banyak yang lanjut ke luar kota, bahkan luar negeri. Gue sendiri yang masuk Kampus ini, di jurusan ini. Sebenarnya ini pilihan ketiga, gue mengincar Universitas di provinsi sebelah. Sayangnya, Tuhan tidak mengizinkan. Gue bukan Tara dan Ibas yang memang sejak awal mengincar jurusan ini, tapi nggak separah Nugi yang milih jurusan pakai capcipcup itung kancing.

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang