—Fira's
"Kak Satya sama Kak Bia itu teman baik—sahabat sih lebih tepatnya. Banyak yang ngira mereka pacaran, ternyata enggak. Tapi bukan mereka aja yang kayak gitu—I mean, yang lain juga banyak, makanya Kak Satya sama Kak Bia tuh cuma bahan gosip selewat aja...."
Tara duduk di hadapan gue, menjelaskan semua yang dia tahu tentang dua orang yang terus memenuhi pikiran gue sejak kemarin sore. Di sampingnya ada Nugi, juga Ibas di sebelah gue. Dua lelaki ini memilih bungkam sejak bergabung dengan gue dan Tara. Mereka datang waktu kami sudah terlanjur memulai percakapan soal kejadian kemarin.
"...jujur, gue kaget banget waktu tau kalau yang datang itu Kak Bia. Berani-beraninya dia ngajak lo ketemu tapi diperlakukan kayak gitu?"
Kabut tipis menyelimuti sekitaran kami, bersumber dari batang rokok yang terselip di masing-masing jemari Nugi dan Ibas. Tak hanya itu, sekarang keheningan pun turut menyelimuti kami berempat.
"Menurut gue ya Fir, jangan dilanjutin," tiba-tiba Nugi berkomentar. "Meskipun gue juga sama brengseknya, tapi lo bisa percaya omongan gue kali ini."
Adalah kebohongan besar kalau gue nggak berharap bahwa semua dugaan negatif yang terangkai di kepala gue akan dipatahkan oleh penjelasan Tara. Gue terlalu naif sampai melupakan fakta bahwa menaruh harap pada manusia adalah hal yang sia-sia.
Siapa yang menyangka kalau sosok yang berhasil mengetuk pintu hati gue dengan cara yang unik namun sopan, ternyata juga menjadi alasan gue ingin membangun benteng yang lebih tinggi dan lebih kokoh dari sebelumnya.
"Kalau lo pernah liat gambar seliweran di medsos, cowok awal putus haha hihi tapi sebulan kemudian baru galau tuh benar adanya Fir," lanjut Nugi. "At least GUE ngerasain itu. Gestur gak bisa bohong. Gue juga kalau ketemu Alin keder lagi."
"Fine then," gue tertawa getir. "At least I figured it out before everything got messier, right?"
Ya, setidaknya gue bisa mengurungkan niat untuk memberinya kesempatan lebih jauh. Tuhan berbaik hati karena sudah menyelamatkan gue sebelum jatuh lebih dalam, atau bahkan terluka lebih parah dari sebelumnya.
"Apaan nih mesa mesi? Lionel Messi?"
Tiba-tiba sosok jangkung hitam manis bernama Satrio muncul di hadapan kami. Tanpa ragu ia menaruh ranselnya di atas meja, kemudian duduk di sebelah Nugi. "Rokok teroooss cok!"
"Bacot lu. Bilang aja pengen," balas Nugi sambil menggeser bungkus rokok beserta korek miliknya ke depan Tyo.
"Gak dulu," tolak Tyo. Arah pandangannya mengedar ke sekeliling. "Lu pada lagi ngapain sih? Konferensi meja kayu? Ngomongin apaan?"
Nggak ada satu orang pun yang menjawab.
"Fira nih pasti," Tyo menunjuk ke arah gue dengan senyum sok tahu. "Ngomongin acara kemarin yak? Diajak ayang ketemu—WEITS, matanya bisa biasa aja nggak, Bu?"
Gue berdecak sebal lalu melengos, sedikit tersinggung dengan sebutan 'ayang' yang Tyo lontarkan barusan. Memang bukan sepenuhnya salah dia sih, tapi kan momennya lagi nggak pas. Ini bukan waktunya buat bercanda soal orang itu.
Melihat reaksi dingin gue barusan, Tyo spontan meminta maaf dan menarik kembali ucapannya. "Maaf ya, Fir. Kalau ada yang perlu ditonjok bilang aja."
Ibas menyambar omongan Tyo, "Kayak berani aje nih, Tyo Pakusadewo."
"SERIUS DULU si Fira kenapa?" Tyo masih kepo, tapi nggak ada seorang pun di antara kami yang mau menjawab.
"Cowoknya partai banteng," celetuk Ibas. "Red flags."
KAMU SEDANG MEMBACA
Maybe, Probably
FanfictionSebuah kisah klasik masa muda dengan bumbu FTV. Ketika yang kelihatannya nggak mungkin, jadi mungkin.