20

55 20 1
                                    

—Fira's

"Kenapa, Beb? Muka lo tegang banget gitu."

Gue menerima uluran gelas berisi air mineral dari Tara. Siang ini gue mampir ke Kosannya sambil menunggu kelas selanjutnya. Daripada nunggu di Kampus, bosan, nggak ada privasi buat ngobrol juga.

Sebenarnya gue punya tujuan lain sih. Gue pengen cerita ke Tara soal omongan Kak Satya kemarin sore.

"May I, Safira?"

Kepala gue terasa penuh sesak begitu mendengar pertanyaan barusan. Hening pun jatuh di antara kami berdua. Tapi gue harap, Kak Satya bisa memahami situasi lewat raut wajah gue. Gue berharap dia paham kalau pertanyaan itu nggak bisa dijawab dengan mudah.

"Fira! Lo liat Nugi ngga—"

Keheningan itu akhirnya terusir oleh kehadiran salah satu teman gue, Zaid, yang dengan santainya menginterupsi gue dan Kak Satya. Bisa dimaklumi, dia kan nggak tahu kalau gue lagi terjebak dalam situasi menegangkan.

"—sorry..."

Ekspresi Zaid berubah menjadi canggung. Ia melempar senyum kikuk ke Kak Satya sambil menggumamkan kata maaf, yang dibalas seulas senyum oleh Kak Satya.

Thanks, Zaid. I owe you a lot, batin gue.

"Nugi disana tuh," gue menunjuk ke arah kerumunan. "Sama Tara, Ibas, Tyo. Samper aja."

"Oke," Zaid mengangguk lalu tersenyum. "Thanks, Fir. Gue duluan ya. Mari, Kak."

Zaid pergi meninggalkan kami berdua, yang artinya gue kembali dihadapkan dengan situasi menegangkan seperti tadi. Padahal gue berharap bisa kabur, atau paling tidak ada ide jawaban cemerlang yang melintas di kepala.

"Nggak perlu dijawab sekarang kok. Maaf kalau gue agresif," Kak Satya lebih dulu membuka mulut. "Gue tertarik sama lo, tapi nggak tahu harus apa."

Ia menarik nafas sebelum melanjutkan.

"Gue nggak tahu harus mulai darimana, so... gue milih buat jujur aja. Maaf udah bikin lo nggak nyaman. Kalau lo lebih suka kita stay as we are now, I'm fine. Totally fine."

"Oke, Kak."

Ha. 'Oke, Kak?'

Seriously, Fira? Lo ngejawab Kak Satya dengan kata "oke", udah kayak ngejawab pembagian tugas di grup chat kelompok.

Tapi belum sempat gue meralat jawaban barusan, Kak Satya lebih dulu angkat bicara. Lagi-lagi, gue kalah curi start.

"Ya, oke. Kalau gitu, gue balik dulu. Lo masih nonton ya?" nadanya terdengar gugup, tapi dia berusaha untuk bersikap setenang mungkin.

Kali ini pertanyaannya jauh lebih mudah. Satu anggukan pun lebih dari cukup untuk dijadikan jawaban.

"Oke."

Kak Satya tersenyum kemudian berjalan mundur. Gue lantas memanfaatkan momen ini untuk membalasnya dengan,

"Hati-hati di jalan, Kak."

"Lo juga, hati-hati baliknya. Jangan kesorean."

Sempat-sempatnya dia berbicara dengan nada jahil plus seulas senyum jenaka yang menghiasi wajahnya. Dasar.

"Halooooo? Dengan Nona Titania Safira?"

Suara nyaring milik Tara membuat sesi nostalgia gue buyar. Sekarang dia sedang menjentikkan jarinya tepat di depan wajah gue, sambil tangan kirinya memegang toples berisi keripik.

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang