32

43 19 4
                                    

—Fira's

"Kak?"

Gue hampir menjatuhkan sisir di tangan ketika Papa menyembul dari balik pintu kamar. Wajahnya tanpa dosa, seolah raut wajah gue nggak berarti apa-apa.

"Ih, kaget ya?"

ISH, bapak-bapak suka banget iseng ya.

Papa tertawa pelan, masih di posisi tadi. Kemudian beliau menggeser tubuhnya dan mengangkat kedua tangan, persis penjahat yang ditodong pistol sama Polisi. Berpura-pura takut melihat ekspresi wajah gue yang kesal.

"Ampun, Tuan Putri."

Giliran gue yang tertawa lalu melanjutkan agenda sisiran pagi ini.

"Di meja makan ada kue, oleh-oleh. Kamu bawa ke Kampus aja Kak, dibagi sama teman-teman."

Papa memang sering tugas ke luar kota, makanya gue dan Dinda lebih sering di rumah berdua semenjak Mama nggak ada. Asisten rumah tangga di tempat kami cuma kerja sampai sore. Berhubung sudah terbiasa, gue dan Dinda pun menjalaninya dengan santai. Padahal sejujurnya, kekosongan itu sangat terasa. Jarang bertemu Papa adalah hal biasa, tapi dengan ketidakhadiran Mama semuanya terasa jauh berbeda.

Biasanya setiap pulang dinas luar kota, Papa membawa oleh-oleh seabrek. Tentunya didominasi oleh makanan.

"Kamu bawa yang ini Kak," Papa menyerahkan kantung plastik berwarna putih bertuliskan nama toko oleh-oleh. "Kurang nggak? Temanmu kan banyak."

"Cukup kok, Pa."

"Mau dianter sekalian, Kak?"

Gue menggeleng, "Nggak usah, Pa. Aku bareng temen."

"Oooo yaudah."

"Bareng temen? Seriously?"

Gue dan Papa menoleh ke belakang, dimana Dinda berdiri dengan dandanan rapi siap berangkat sekolah sambil memasang wajah julid. Ternyata belum selesai ya drama pagi ini. Huft.

"Temen as in friend? Not a boy spasi friend?" ulang Dinda sekali lagi. "Or it's a boy without space friend?"

Belum sempat gue melayangkan protes, Dinda lebih dulu bersuara. "Peraturan pertama, nggak boleh marah-marah," ujarnya jahil.

Papa nyengir, sementara gue memutar kedua bola mata dengan malas. Masih pagi loh ini, udah nyari keributan aja. Dasar anak SMA.

"Mau dianter siapa, yang penting hati-hati. Selamat sampai tujuan," komen Papa sebelum menyesap kopinya dari cangkir.

"Dinda tuh sirik Pa, punya teman banyak tapi nggak pernah ada yang mau nebengin," balas gue sambil melirik jahil ke arah Dinda.

"Si paling nebeng," cibir Dinda.

Sebenarnya semua ini ada penyebabnya. Semalam Dinda nggak sengaja lihat notifikasi dari Kak Satya. Seperti yang kalian duga, Kak Satya menawarkan tebengan. Jangan tanya kenapa dia sudah berkeliaran di sekitar sini dari pagi, sebab gue juga bingung. Katanya sih, sekalian habis ada acara yang mengharuskan dia menginap di rumah temannya.

Gue juga nggak kepo sih soal benar atau enggaknya, sebab gue terlalu sibuk menenangkan diri agar ritme degupan jantung gue kembali normal.

Rasanya campur aduk, tapi didominasi oleh rasa gugup. Padahal ini bukan pertama kalinya Kak Satya ke rumah.

Pukul sembilan pagi, motor Kak Satya berhenti tepat di depan rumah gue. Setelah berpamitan pada Papa, yang kelihatan kepo banget sama oknum yang bertanggung jawab membawa gue ke Kampus dengan selamat, gue bergegas menghampiri Kak Satya dengan helm yang sudah terpasang sempurna.

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang