6

97 30 6
                                    

—Fira's

"Now, let me ask you. What is the difference between Culture... versus culture?"

Dosen gue di kelas Kajian Budaya Urban menuliskan dua kata yang serupa tapi tak sama di papan tulis. Seisi kelas cuma diam tanpa merespon karena kita semua bingung. Nggak mungkin dong kita jawab, "Bedanya yang satu pake c besar, satunya c kecil" walaupun sepenglihatan mata emang begitu.

"Apa, Fir?" bisik Ibas yang lagi duduk di sebelah gue.

"Baca dong materinya," balas gue dengan nada senga.

"The big c is the way human species' absorb and imitate patterned and symbolic concepts that will help them survive...." Ibas menggumamkan jawaban dari Google. "Kalau yang c kecil lebih kepada gimana si culture with big c ini diaplikasikan di lingkup tertentu."

"Yang artinya?"

"Gatau Fir, gue bingung...."

Yaudah, emang paling bener baca ppt dari Dosen aja. Kadang searching di Google malah bikin tambah bingung.

Satu setengah jam dicekoki diskusi perihal betapa luasnya definisi budaya, yang bukan cuma sekadar masalah bahasa, adat istiadat, tapi juga produksi yang pada akhirnya melahirkan hegemoni media, kapitalisme, blablabla... Menarik sih, tapi kalau ngantuk atau perut keroncongan melanda semuanya jadi buyar.

"Makan di deket kosan Tara aja yuk," ajak Tyo. "Pengen thai tea."

"Katanya makan?" tanya Tara.

"Maksudnya sekalian beli makan, Tamara..."

Terima kasih kepada Tara yang ngekos di dekat pusat makanan. Tiap ada dagangan baru, pasti kita langsung dapat info karena Tara gercep banget kalau soal nyoba menu baru. Termasuk fuyunghai yang waktu itu tuh, masih ingat kan? Yang... gue ketemu Kak Satya... iya, itu.

"Eh, mentai apaan sih mentai?" tanya Nugi waktu kita sudah sampai di TKP.

"Anime," jawab Tara.

"WKWKWK bangke. Serius nih, gue gatau," kata Nugi.

"Basically itu saos sambel, mayonaise, sama apa ya gue lupa. Terus nanti dibakar pake torch gitu," gue berusaha menjelaskan dengan baik dan benar karena kelihatannya Nugi pengen.

"Enak Gi, cobain aja," kata Tara. "Pedes-pedes gurih gitu. Ayo kalau mau beli."

"Naahh, lu duluan deh yang pesen. Ntar gue icip dulu."

Saking beragamnya menu yang ada di Foodcourt ini, gue juga butuh waktu lamaaaaa banget buat nentuin mau makan apa. Bahkan sampai Tyo udah balik sambil bawa thai tea dan seporsi nasi ayam bakar pun, gue masih bingung mau beli apa.

Tara sama Ibas sudah nangkring di depan stall mentai, di sebelahnya ada orang jualan nasi campur. Oke, gue beli nasi campur aja deh.

"Terus itu diapain—oohh, dilas?" pertanyaan konyol dari Ibas menyambut kedatangan gue di sekitar mereka.

"Bahasa lu jelek banget Bas," tegur gue.

"Loh, bener kan itu dibakar pake las?"

"Torch, Ibas. T-o-r-c-h," tegas Tara. "Maaf ya Mas, temen saya ini emang jiwa bengkel."

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang