33

47 17 7
                                    

—Fira's

"Have fun, Babe!"

"Can't wait for the diajak ketemu ortunya gue deg-degan moment."

Tara menghadiahi gue dengan kedipan jenaka sebelum kami berpisah di dekat pintu masuk gedung FIB. Begitu juga dengan Ibas dan Nugi yang tertawa puas sambil memainkan kedua alis.

"Jangan lupa semprot parfum."

"Lo pake deodoran kan, Fir?"

Gue mencubit pelan Nugi, yang apes banget karena berdiri tepat di sebelah gue. Mereka ini tuh ya... haduh... lebay selebay lebaynya orang lebay. Perkara mau diajak ketemu temannya Kak Satya aja komennya aneh-aneh. Dasar.

"Jangan lupain kita ya Fir, setelah dapat kenalan baru," celetuk Ibas.

"Stoooppppp! Jangan dramatis gitu deh ah," protes gue. "Ketemunya juga paling cuma sejam dua jam. Gue bukan mau pindah kampus!"

Sialnya, mereka malah ketawa makin kencang. Coba kalau ada Tyo, pasti makin nggak karuan deh tuh komentarnya. Untung oknumnya udah balik duluan.

"Jokes aside, Kak Satya jemput lo kesini? Atau lo yang nyamper ke FISIP?" tanya Tara.

Nugi langsung membelalakkan kedua matanya, "Yang bener aja? Yakali Fira yang jalan ke FISIP. Lelaki macam apa itu, Safira? Jauh-jauh dari dia."

Satu pukulan ringan mendarat di lengan kiri Nugi. Gue menatapnya sebal lalu menjawab, "Dia yang kesini."

"Beneran ini mah tahun baru pacar baru JIAKH."

"JIAAAKKHHHH."

"Berisik heeyyy!"

Ketiga manusia di depan gue ini masih asik dengan dunianya, menertawakan gue yang pastinya sudah salah tingkah sejak tadi.

Ya, gue nggak bisa menahan diri untuk nggak merangkai skenario perihal pertemuan yang akan terjadi sore ini. Bagaimana kejadian serupa seperti pertemuan dengan Kak Adel di Kopi Kampus waktu itu akan terulang, tapi dengan situasi yang jauh lebih menyenangkan. Bayangan sekaligus pertanyaan tentang bagaimana Kak Satya akan memperkenalkan gue ke temannya terus menghantui. Dengan kata lain, iya, gue mulai berharap akan sesuatu yang lebih.

"Awas awas, ojeknya udah dateng," celetukan Nugi menyeret gue ke realita, untuk menemukan sosok Kak Satya yang mulai mendekat dengan motornya.

"Nugraha nih congornya ya," tegur Ibas.

"Cabut yuk! Takut iri liat love birds," timpal Tara, yang kemudian melayangkan flying kiss sebelum menggandeng lengan Ibas dan Nugi untuk ikut menjauh dari hadapan gue.

"Yuk yuukk!"

"Hati-hati, Neng Fira!"

Belum sempat gue membalas mereka, bunyi klakson dari motor Kak Satya lebih dulu menginterupsi. Si pengemudi membuka helmnya, lalu menggestur agar gue segera naik.

Perjalanan kami terasa singkat, tanpa sepatah kata pun yang terucap. Kak Satya terlihat agak aneh sore ini. Mungkin cuma perasaan gue, mungkin juga bukan. Tapi dia jadi lebih pendiam, dan raut wajahnya seolah mengisyaratkan kekhawatiran. Entahlah, gue nggak bisa membacanya dengan pasti.

"Rame banget ya Kak," gue mencoba membangun obrolan untuk memastikan bahwa perasaan gue salah.

"Iya. Mana pilih kasih banget, parkiran motornya jauh di seberang," jawab Kak Satya.

Oh, ternyata dia masih sama. Gue aja yang berlebihan dan terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Pertemuan sore ini berlokasi di pusat perbelanjaan tak jauh dari Kampus, yang juga tak jauh dari tempat teman Kak Satya menginap—barusan dia bilang begitu. Berhubung parkiran motor terletak di lahan terpisah, kami harus melewati jalan kembar yang cukup ramai untuk sampai ke bangunan utama pusat perbelanjaan itu. Bukan cuma gue dan Kak Satya, tapi ada segerombolan pengunjung lain yang turut mengantri untuk menyebrang jalan.

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang