39

44 16 4
                                    

—Tara's

Membiarkan Kak Satya masuk ke kehidupan Fira adalah salah satu penyesalan terbesar dalam hidup gue. Katanya, kalau nasi sudah menjadi bubur, tinggal tambahin ayam suwir, kecap, dan kerupuk supaya jadi bubur ayam nikmat. Tapi bagi gue enggak. Mau disugar-coat gimanapun caranya, wejangan itu nggak bisa diterapkan di kasus gue yang satu ini. Alias, udah lah, nggak perlu gue menjustifikasi perbuatan gue waktu itu dengan berbekal quotes atau apalah itu. Salah mah salah aja. Titik.

Memang, manusia nggak ada yang sempurna. Kata Nugi, alasan gue masuk akal buat diterima. Tapi ya itu, balik ke kalimat pertama. Sekarang gue harus belajar dan lebih hati-hati sebelum mengambil keputusan, supaya nggak keulang lagi. Walaupun nggak bisa dipungkiri, perasaan bersalah itu terus menghantui gue.

Whatever happens, happens. And I have to deal with it, right?

Pagi ini gue berjalan seorang diri menyusuri jalanan Kampus sambil menenteng kantong plastik berisi tiga kotak styrofoam. Biasa lah, ritual sebelum kelas pagi adalah nyabu alias nyarapan bubur. Satu tanpa kacang, satu extra telur puyuh, dan satunya extra bawang goreng. Buat siapa? Gue, Fira, dan Ibas.

Oknum yang namanya disebut terakhir emang suka fomo.


LINE!
Fira:
5-6 menitan lagi lah paling
Jagain kursi yak, seperti biasa bawah ac

Tara:
Noted!
buruan keburu bubur lo dimakan baskoro


Gue spontan tertawa kecil setelah menulis pesan terakhir. Akhir-akhir ini Ibas memang suka ngisengin Fira, 'Abis nggak tuh? Kalau enggak buat gue aja'. Katanya kalau cewek lagi patah hati biasanya nggak nafsu makan.

Fira, surprisingly, kelihatan santai aja menjalani hari kayak biasanya. Kita nggak pernah tahu gimana perasaan dia yang sebenarnya, tapi yang jelas dia nggak pernah cerita apapun soal Kak Satya. Bahkan ke gue pun enggak. Kayaknya dia benar-benar muak banget. Jangankan buat cerita, dengar nama Kak Satya aja mungkin udah emosi.

Ramainya suara kendaraan yang berlalu-lalang di sekitaran Kampus cukup membuat gue terdistraksi. Dalam jarak sekian meter, nggak jauh-jauh amat, gue melihat spanduk besar terpampang menampilkan beberapa wajah yang tentunya kelewat asing buat gue. Karena ini FISIP, biasanya nggak jauh-jauh dari anak HI yang berkesempatan ikut konferensi internasional dan semacamnya.

Atensi gue kemudian berpindah ke para manusia yang berpapasan dengan gue di jalan ini. Ternyata, salah satu di antaranya adalah Kak Satya. Kita nggak berpapasan langsung sih, tapi gue lihat dia berada tepat di depan FISIP. Entah mau nyebrang ke fotokopian yang ada di seberang gedung, atau lagi nunggu orang, yang jelas dia berdiri disitu sendirian. Sialnya lagi, belum sempat gue memalingkan wajah, dia lebih dulu ngeliatin gue.

Nggak ada yang terjadi. Cuma adegan saling pandang kayak di FTV. Raut wajah Kak Satya nggak terbaca, atau mungkin emang guenya aja yang nggak peduli-peduli amat sama ekspresinya dia.

'I do believe that time changes people.'

'But it doesn't, right?'

Percakapan gue dan Nugi kembali terngiang. Betapa naifnya seorang Tamara Lazuardi, berpikir kalau playboy kelas kakap macam Kak Satya bisa berubah hanya karena ketemu satu cewek yang bikin dia kepo setengah mati.

LINE!

Bunyi notifikasi dari telepon genggam yang ada di tangan gue berhasil merenggut atensi gue dari Kak Satya. Satu pesan masuk dari Fira, and thanks to it, gue jadi bisa sepenuhnya memalingkan wajah dan melanjutkan langkah ke gedung bercat abu di depan sana.


Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang