27

52 20 3
                                    

—Satya's

Pernah nggak sih kalian ngerasa bersemangat banget menjalani hari esok sampai nggak bisa tidur? Gue pernah, dan baruuu banget terjadi. Tahu lah siapa penyebabnya.

Siapa lagi kalau bukan inisial TS dari jurusan Sastra Inggris.

Seumur-umur, gue ngerasain hal serupa karena dua alasan: waktu mau liburan ke Bali dan naik pesawat untuk pertama kalinya, yang kalau nggak salah gue masih kelas 4 SD, dan waktu mau tanding ngewakilin Sekolah di liga futsal remaja. Sekarang nambah satu penyebab, yaitu karena abis nganterin pulang cewek yang gue taksir.

Setelah kejadian makan bareng Fira, yang tentunya penuh rintangan sampai gue bela-belain balik ke Kos demi ngambil laptop, kemudian ketemu Adel dan agenda mohon maaf lahir batinnya itu, ada euforia yang meletup-letup di dalam diri gue. Alhasil, gue susah tidur karena saking senangnya. Untung jeda kelas hari berikutnya agak lama, jadi gue bisa melipir tidur di Kos dulu.

Nggak ada hal spesial yang terjadi sih. Setelah ngobrol, gue gombalin, Fira masih kayak biasanya. Cuma lebih gemesin aja karena pipinya langsung merah merona. Yang bikin gemes tuh itu, dia nggak bereaksi kayak orang cacingan, tapi cuma senyum santuy. Gue yakin sih, aslinya itu anak nggak bisa nahan diri dan pengen gebrak meja, cuma kehalang malu aja. Untungnya lagi, dia juga bersedia gue anterin balik.

NAH, DISITU GONGNYA!

'Hati-hati Kak, dan makasih banyak udah bikin gue ketawa hari ini.'

Bro. BRO. BRROOOOO. Bayangin gimana rasanya jadi gue? Yakali gue bisa tidur dengan nyenyak setelah kalimat ajaib itu terlontar dari Fira BUAT GUE?

Fix gue bakal anggap ini sebagai lampu hijau, dan gue nggak perlu ragu lagi buat ngambil langkah duluan supaya bisa makin dekat sama Fira.

"Mau kemana, Sat?"

"Makan di FIB."

Seperti biasa, habis kelas terbitlah lapar. Nggak perlu pikir panjang, gue langsung menjawab pertanyaan dari Aji. Respon yang gue dapat dari Aji dan Umar bertolak belakang. Umar nggak kaget dan cuma menggelengkan kepala, sementara Aji bingung.

"Di FIB ada apaan sih? Rajin banget—OH IYA LUPA!" pekik Aji. "Yaudah, silakan... silakan... atur aja, Bos. Moga lancar."

Gue ketawa, "Mau ikut? Ayo aja kalau mau gabung."

"Gak deh, skip. Nggak mau ganggu urusan orang," jawab Aji tanpa basa-basi, yang diikuti acungan jempol dari Umar.

"Syukur kalau udah bisa tobat," pungkas Umar sebelum merangkul Aji dan pergi dari hadapan gue. Bagus deh, biar nggak ada yang merusak suasana.

Gue melangkah dengan ceria ke Kantin FIB. Persis kayak anak kecil disuruh emaknya beli garam di warung, pakai iming-iming kembaliannya buat jajan. Kali ini gue udah pinter, tadi udah nanya dulu kelasnya Fira selesai jam berapa dan dia mau lanjut kemana. Gue bilang kalau mau makan di Kantin FIB, dianya nggak nolak gue ajak makan bareng. Pas banget kan tuh.

Mata gue langsung memindai sekeliling begitu sampai di lokasi. Tak butuh waktu lama, gue bisa menemukan Fira di tengah kerumunan manusia, duduk satu meja dengan teman-temannya. Formasinya masih itu-itu aja, ditambah beberapa wajah asing yang sekarang sudah pamit undur diri duluan. Gue juga lihat cowok yang waktu itu jajan batagor sama Fira di FISIP, tapi kali ini gue udah nggak sebel soalnya gue yakin itu cowok bukan siapa-siapanya Fira.

"Fir," gue memanggil namanya dengan nada lembut, yang sukses mengalihkan perhatian seisi meja. Fira menatap gue dengan wajah ramah tapi canggung.

"Hai, Kak."

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang