34

47 16 3
                                    

—Fira's

Langit sudah sepenuhnya gelap ketika kami memutuskan untuk mengakhiri obrolan. Gue dan Kak Satya masih duduk bersebelahan, melemparkan senyum dan intonasi bersahabat kepada pasangan di hadapan kami. Tanpa mereka tahu, isi kepala gue mulai ramai dengan berbagai pikiran negatif hasil dari amarah bercampur kecewa.

Kak Bia adalah sosok yang menyenangkan, gue mengakui itu. Pun Kak Saka terlihat berwibawa tapi bisa mengimbangi obrolan tanpa terkesan kaku. Mereka adalah pasangan yang serasi, kalau gue boleh menilai. Makanya gue pun nggak heran kalau Kak Satya pernah menaruh hati pada Kak Bia, dan iri pada Kak Saka.

Ya, gue masih cukup pintar untuk berpikir jernih dan memahami situasi hari ini. Kenapa Kak Satya melepas genggaman kami, lalu sorot matanya, sikap anehnya sejak kami berangkat tadi, adalah klu yang sangat mudah untuk dirangkai.

Oh, bahkan gue juga beberapa kali mendengar Kak Satya menyebut nama "Yaya", bukan "Bia". Bukankah terlalu menggemaskan untuk panggilan dari seorang teman biasa? Am I right?

Mungkin kedengarannya egois kalau gue berharap bahwa semua itu salah. Siapa tahu ternyata Kak Satya punya track record yang buruk dengan salah satu dari dua orang itu. Masih banyak kemungkinan lain sih, tapi sepertinya kesimpulan gue kali ini benar.

Kak Satya menaruh hati pada Kak Bia, tapi tak berbalas sebab si gadis malah memilih Kak Saka. Atau mungkin berbalas lalu kandas? Entah. Yang jelas, Kak Bia terlalu berarti untuk bisa dilupakan begitu saja.

Lantas, gue ini apa? Dan kenapa Kak Satya bilang mau mengenal gue lebih jauh kalau pada kenyataannya dia masih punya orang lain yang mengisi penuh ruang di hatinya?

"Satya, Fira, makasih banget yaaa udah nyempetin buat ketemu. Next time kita main bareng lagi."

Gue membalas pelukan hangat Kak Bia dengan tulus, terlepas dari apa yang terjadi hari ini. "Sama-sama Kak," jawab gue.

"Satya, baik-baik ya lo disini!"

Kak Satya tertawa pelan, "Lo juga, Ya. Hati-hati baliknya."

Gue bisa menangkap dengan jelas nada sedih yang dipaksakan untuk ceria itu. Bahkan Kak Satya seolah enggan menarik kembali tangannya setelah bersalaman dengan Kak Bia. Rasanya seperti menjadi tokoh figuran, yang hadir hanya untuk meramaikan tanpa memberi kesan berarti. Bahkan gue sudah nggak bisa mencerna apalagi mengingat apa yang terjadi setelahnya. Yang gue ingat cuma adegan dimana Kak Bia dan Kak Saka benar-benar menghilang dari pandangan, bergabung dengan lautan manusia yang ada di tempat ini, dan legam milik Kak Satya yang tertuju pada sang dara.

"Yuk, Fir."

"Kak."

Kak Satya sudah melangkah lebih dulu, namun terhenti karena gue memanggil namanya. Ia lantas menoleh ke belakang, menatap gue dengan wajah datarnya.

"Kayaknya gue pulang sendiri aja deh. Daripada lo harus bolak-balik nganterin gue."

Ia tak memberi respon apapun selama beberapa detik. Ekspresinya nggak terbaca, hanya datar, bukan seperti Kak Satya yang biasanya. Kak Satya yang mencari seribu cara untuk membujuk gue lewat rayuan jenakanya.

"Lo mau pulang naik apa?"

Padahal ada sedikit harap bahwa dia akan membujuk gue seperti biasanya. Ternyata enggak.

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang