31

55 18 4
                                    

—Satya's

Menurut gue, cara supaya lo bisa tahu soal perasaan lo ke si doi itu cuma angin lewat atau serius diukur dari seberapa besar rasa ingin tahu lo tentang dia. Bukan tahu yang sekadar tahu apa makanan favoritnya, makan buburnya diaduk atau enggak, tapi juga kekhawatiran apa yang sedang dia alami. Sekecil kekhawatiran soal hari ini ada undian buat presentasi di kelas.

Nah, itu yang gue rasain ke Fira.

Gue nggak cuma pengen tahu dan kenal Fira yang seceria matahari pagi, tapi juga Fira yang semuram badai petir. Tentang keluh kesahnya, rasa sakitnya—kalau memang gue layak untuk itu. Itulah alasan kenapa gue nggak pernah mendesak dia dari awal dengan cara terlihat kepo yang berlebihan. Gue mau semuanya berjalan apa adanya, pelan-pelan tapi pasti. Walaupun kalau boleh jujur, gue nggak sabaran. Gue kira saling bertukar informasi soal fakta receh diri sendiri sudah cukup meyakinkan Fira untuk mempersilakan gue maju satu langkah lagi ke dalam hidupnya. Ternyata enggak.

Bahkan tempo hari pun, ketika dia jelas-jelas menitikkan air mata di depan gue, dia masih bisa menyanggah. Dia berusaha keras untuk menyembunyikan kerapuhannya, yang menurut gue SANGAT WAJAR. Siapa sih yang nggak hancur ketika ditinggal pergi orang tersayang untuk selama-lamanya?

Tapi kemudian gue sadar. Sampai kapanpun, gue nggak akan bisa memahami dia. Gue pernah kehilangan anggota keluarga, tapi luka yang kita alami jauh berbeda. Yang bisa gue lakukan adalah meyakinkan Fira kalau gue bisa dan mau menerima sisi rapuhnya. Setidaknya gue bisa jadi salah satu alasan untuk bikin dia tetap ketawa dan terus bertahan disini.

"Tenang Fir, gue punya stok shitpost buat bikin lo ketawa sampai nangis."

Gelak yang terdengar merdu di telinga gue itu pun akhirnya terdengar. Samar, namun berhasil menghapus atmosfir kurang bersahabat yang tercipta di antara kita. Sungai-sungai kecil itu masih terlihat jelas di kedua pipi Fira, namun titik fokus gue ada pada kedua sudut bibirnya yang terangkat sempurna, menciptakan seulas senyum indah.

"Gue juga pernah kehilangan Fir," ujar gue sore itu. "Mungkin lukanya nggak sebesar lo, tapi gue juga pernah ngerasain yang namanya nafas aja susah."

Fira menoleh ke arah gue dengan wajah bingung, kepo, sekaligus prihatin. Gue pun membalas tatapannya dengan senyuman kecil, "Sepupu gue jadi korban tabrak lari waktu pulang sekolah. Meninggal di tempat."

Kedua manik indah milik Fira terbelalak hebat. Mungkin saking kagetnya dengar cerita dari gue. Ini bukan gimmick ya, beneran kejadian. It was 10 years ago, the day I lost the only cousin that I'm comfortable to share anything with.

"G-gue turut berduka, Kak..."

Sorot mata Fira jauh lebih bersahabat setelah mendengar cerita gue secara lengkap. Gue kembali menemukan sorot teduh dan menenangkan itu.

"Makasih," jawab gue tulus. "Gue mikirnya gini sih, sekarang dia udah jauh lebih tenang. Nggak kebayang orang sebaik dia harus ngelewatin kejamnya dunia hari ini."

"..."

"Kalau soal nangis, kadang gue suka tiba-tiba nangis kalau lihat anak sekolah lagi nyebrang jalan. Kayak yang gue bilang tadi, we're all born with a complete package of both strength and flaws. And pain, and sadness..."

Mungkin kalimat gue pasaran, tapi gue harap Fira bisa merasakan ketulusan dari nada bicara gue. Setidaknya cukup buat meyakinkan dia kalau gue selalu siap sedia mendengar keluhannya. Mungkin bukan tentang kepedihannya di masa lalu, tapi omelan remeh temeh sehari-hari. Nggak apa-apa, gue mau, dan selalu mau.

Fira nggak memberi jawaban lagi setelah itu. Dia cuma tersenyum lalu mengangguk, kemudian memainkan ujung bajunya dengan kikuk. Kalau gue nggak tahu diri, gue bakal ngasih dia gombalan sampis kayak biasanya. Tapi gue paham situasi, maka gue memutuskan untuk pamit setelah menghabiskan segelas minuman buatan Dinda dan satu kukis dari dalam toples.

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang