40

43 17 4
                                    

—Satya's

Nggak pernah terbayangkan sebelumnya kalau menginjakkan kaki di gedung fakultas bercat abu-abu ini bakal terasa berat dan menegangkan. Bahkan lebih berat dan menyeramkan daripada masuk ke Ruang Dosen Ilpol. Rasanya seolah dinding pun ikut mengamati setiap gerak-gerik gue. Salah sedikit, langsung ketimpa plafon kemudian kesedot sampai inti bumi.

Gue berjalan menyusuri lantai dasar gedung Fakultas Ilmu Budaya dari ujung ke ujung, kemudian ke lantai dua, dan berakhir di lantai tiga. Hasilnya tetap nihil, tidak ada tanda-tanda kehadiran Fira disana. Satu-satunya harapan gue sekarang cuma Kantin. Persetan dengan betapa sesak dan ruwetnya suasana Kantin, yang penting gue bisa ketemu Fira.

Alasan gue datang langsung tanpa aba-aba kesini adalah karena tahu kalau Fira nggak akan mau diajak ketemu kalau semuanya direncanakan. Emang kedengaran tolol dan kurang ajar sih, tapi ini satu-satunya cara yang terlintas di benak gue belakangan ini. Kalaupun cara ini gagal, gue masih punya waktu buat mikirin cara lainnya. Semoga aja.

"Sat? Sendirian?"

Gue nggak sengaja berpapasan dengan Raihan yang baru selesai jajan air minum dingin di Kantin.

"Iya, Han. By the way lo liat Fira nggak?" pertanyaan gue sontak mengundang ekspresi bingung dari wajah Raihan.

"Fira? Enggak."

Oke, berarti gue masih harus menelusuri seisi Kantin. Perjalanan masih lumayan panjang, walaupun belum tentu membuahkan hasil.

"Tapi gue liat temennya yang cowok," lanjut Raihan. Kemudian dia menoleh ke arah laki-laki berjaket denim yang lagi antre beli jus buah. "Coba tanya dia aja kalau berani."

"Taik lo, Han. Sempet-sempetnya," gue mencibir.

"Ya harus berani lah, Sat. Daripada nggak kelar-kelar," pungkas Raihan sebelum menepuk bahu gue dan berlalu gitu aja. Iya, gue ditinggalin cuy. Abis dikatain langsung ditinggal. Kampret.

Pandangan gue masih tertuju ke arah lelaki berjaket denim, Tyo. Omongan Raihan benar, gue memang agak takut sama si Tyo itu. Kalian tahu sendiri gue pernah nggak sengaja berpapasan sama Fira yang lagi makan bareng teman-temannya, termasuk Tyo, dan gue dihadiahi tatapan dingin nan sinis. Terlebih lagi, gue tahu diri kalau gue punya salah.

'Harus berani daripada nggak kelar-kelar.'

Dan omongan Raihan yang terakhir pun benar. Kalau gue nurutin nyali yang udah ciut jadi makin ciut, masalahnya nggak akan selesai. Man up, Satya. Lo pilih yang mana, dijudesin sekian menit demi tahu keberadaan Fira atau mundur dan selamanya hidup lo nggak akan tenang?

Pastinya gue milih yang pertama. Dijudesin sebentar, abis itu cabut. Selesai, kan? Yang penting gue punya itikad baik buat nyariin Fira dan minta maaf.

"Tyo."

Sosok jangkung itu menoleh ke arah gue. Wajahnya kelihatan bersahabat di awal, kemudian berubah jadi dingin dalam sekejap. Ya, oke, gue bisa maklum kok. Pasti dia kaget sekaligus muak lihat wajah gue.

"Maaf ganggu sebentar. Gue mau nanya," otak gue bekerja keras untuk merangkai kata demi kata yang pas. "Hari ini lo ada kelas bareng Fira, nggak?"

"Ada," jawab Tyo.

"Lo tahu sekarang dia ada dimana?"

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang