36

43 15 3
                                    

—Fira's

Life can be hard sometimes. As hard as unexpectedly being in the same place as someone who you wish you'd never meet.

Gue pikir dia sudah nggak punya keinginan untuk menginjakkan kaki di Kantin FIB lagi. Well, itu hak dia, mau makan disini atau dimanapun. Tapi kenapa kami harus bertemu lagi disaat gue lagi semangat-semangatnya ingin jajan di Kantin?

Orang itu, Kak Satya, duduk di salah satu bangku, sepaket dengan Kak Raihan dan Kak Umar. Juga ada beberapa wajah lain yang cukup asing bagi gue. Jarak kami cukup jauh, tapi nggak sejauh itu sampai gue nggak mampu mengenali posturnya di antara lautan manusia yang ada disini.

Siang ini gue dan Tyo berniat makan di Kantin setelah kelas mata kuliah pilihan selesai. Kebetulan kami mengambil pilihan yang sama, Bahasa Jepang.
And for your information, jadwal kelas ini nggak enak banget. Gue nggak punya pilihan selain menahan lapar selama kelas berlangsung. Begitu kelasnya selesai, biasanya beberapa menu andalan di Kantin sudah ludes. Hari ini contohnya. Lapak kesukaan Tyo tutup lebih awal karena dagangannya sudah habis.

"Makan apa ya, Fir? Bingung gue," keluh Tyo sambil mengedarkan pandang ke sekeliling. Gue pun melakukan hal yang sama.

"Eeerr... Fira," panggil Tyo dengan nada lirih. "Ada si itu. Jangan liat ke arah jam 12 ya, dia lagi ngeliatin lo. Pretend to not see him."

Oh, gue kira dia nggak ngeh sama keberadaan gue.

"I know," jawab gue, masih dengan kedua mata yang mengedarkan pandang ke sekeliling tapi menghindari sosok yang dimaksud Tyo barusan. "Shall we move, then?"

Tyo menoleh ke arah gue, "Enggak lah. Cuekin aja, anggap dia nggak ada disini."

Tanpa perlu disuruh pun, gue sudah berusaha melakukan itu daritadi. Jangankan sekarang, gue aja bisa kok nggak berusaha mencari atau menghubungi dia duluan selama seminggu terakhir. Ya, pada dasarnya ini bukan kompetisi apalagi ajang saling tunggu sih. I'm just trying my best to get over it. That's it.

Gue dan Tyo akhirnya menjatuhkan pilihan pada sate ayam dan lontong sebagai menu makan siang hari ini. Lebih tepatnya karena ada bangku kosong yang terletak tepat di depan warungnya. Daripada ribet kan.

"Sate sama lontong... es teh... es milo."

"Makasih, Mas."

Gue mengambil tiga tusuk sate berbalut bumbu kacang dan kecap kemudian menaruhnya di atas piring yang sudah dipenuhi irisan lontong. Persetan soal Kak Satya, mendingan gue ngisi perut yang sudah keroncongan ini.

"Hai haaiii, boleh gabung nggak nih?"

Baru aja makan sesuap, tiba-tiba ada tiga onggok manusia dengan makanan dan minuman di masing-masing tangan menghampiri kami. "Boleh doong," jawab gue begitu tahu kalau mereka adalah teman sekelas kami di matkul Bahasa Jepang tadi.

"Gua kira udah balik," kata Tyo.

"Laper saay. Takut pingsan di jalan," jawab salah satu dari mereka, Silvi, sebelum menggigit ujung bawah plastik siomay yang dia bawa.

"Paper KBU kalian apa kabar wahai manusia?" celetuk yang satunya lagi, Iman, yang kemudian langsung mengundang decak sebal dari seluruh penghuni meja.

Gue ikut berkomentar, "Bahas paper KBU di Kantin hukumnya haram, Man."

"Lo sih enak dosennya si Agung. Kelas gue sama Tari nih, kebagian si Om," keluh Iman. Di sebelahnya ada mahasiswi berkepang dua, Tari namanya, yang langsung memasang ekspresi seolah ingin muntah, pertanda setuju dengan keluhan Iman barusan.

Maybe, ProbablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang