06 : Berubah

53.4K 5.9K 91
                                    

Empat hari berlalu setelah kejadian di UKS itu. Kini Hera berubah.

Gadis itu tidak berubah sedrastis itu. Dia masih supel, masih terlihat ceria, masih sering bolak-balik ke ruang guru dan perpustakaan.

Teman-sekedar-kenalnya juga masih banyak. Guru-guru juga masih menyukainya. Menjadikannya murid favorit.

Hanya saja, gadis itu tak lagi sering mengeluh.

Ah, sebenarnya, sejak awal gadis itu tak pernah yang benar-benar mengeluh.

Dia hanya sekedar bercerita, walau tampak menggebu-gebu, yang dia ceritakan sebenarnya hanya itu-itu saja. Bukan masalah yang berat.

Dia hanya menceritakan dan mencurahkan perasaannya.

Tapi... mungkin terlalu sering dirinya bercerita.

Hera terus menerus menggumamkan kalimat itu kala pikirannya mengingat semua perlakuan orang-orang terdekatnya. Orang-orang yang semula ia percaya akan selalu menjaganya. Dan mendengarkannya.

Namun, ternyata semua itu hanya harapan Hera. Dia selama ini mengira apa yang ia ceritakan tak akan membuat banyak orang membencinya begini. Ternyata... ia salah.

Ia lupa satu hal, yakni semua orang punya rasa bosan.

Hera menarik nafas panjang, dirinya kini melangkah memasuki kelasnya yang masih hening.

Ya, dia memang datang sangat pagi. Biasa, urusan KIR. Sebentar lagi ada lomba. Dia sebagai koordinator wajib datang di setiap persiapannya.

Dan ya, terhitung sudah empat hari dirinya berhenti misuh-misuh di status WhatsApp nya.

Setiap hal menjengkelkan yang ia dapatkan, kini ia simpan sendiri. Dia sudah muak di gunjingkan dengan topik drama queen.

Hera menutup matanya, menyimpan wajahnya di balik lipatan tangannya di atas meja. Dia berharap bisa jatuh tertidur walau sesaat sebelum dirinya harus pergi lagi ke ruang guru.

Namun, sama seperti empat hari ke belakang, matanya menolak terpejam. Dia hanya bisa jatuh tertidur setelah mengkonsumsi obat tidur yang tiga hari lalu terpaksa ia beli karena imunnya terus menurun akibat overthinking nya dan berujung insomnia.

"Hera."

Hera mendongak kala mendengar panggilan lembut seseorang.

Ah, itu Keisha, teman sebangkunya. Dia orang yang lemah lembut dan perhatian.

Hera mengangkat alis, bertanya.

"Kamu... gak papa?"

Hera tertegun kala mendengar nada khawatir sarat ketulusan dari perkataan Keisha.

Hera membenarkan posisi duduknya. "Aku gak papa, emangnya kenapa?" dia balik bertanya.

Keisha menarik nafas. "Belakangan, ada banyak lomba KIR. Biasanya kalo kayak gini kamu bakal misuh-misuh dan menggila di status WhatsApp. Tapi empat hari ini kamu seolah menghilang. Aneh." jelasnya jujur.

Hera melebarkan mata, menyadari bahwa Keisha merupakan salah satu orang yang ia jadikan close friend di status WhatsApp nya. Dia juga sering melihat Hera misuh.

"Kamu gak terganggu, Key?" Hera akhirnya bertanya, yang berhasil memicu tawa geli Keisha.

"Kenapa harus terganggu? Kamu gak setiap hari misuh, Ra. Kamu misuh di minggu-minggu lomba aja. Dan misuhnya kamu lucu, kok." jelasnya.

Hera tergugu, matanya memanas. Di satu sisi ia merasa lega, tetapi di sisi lain, otaknya kembali menemukan bahan overthinking.

Jadi... sekarang yang benar yang mana?

Apa Hera terlalu sering mengeluh, atau malah sebaliknya?

Ah, atau... mereka hanya mencari-cari alasan karena sudah lelah dengan sikap Hera?

***

Y

Salam
inggitariana

It's Okay [LENGKAP ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang