Bian masih menempelkan dahinya di tangan Hera kala pintu ruang rawat inap adiknya itu terbuka.
Sang Papa yang mengenakan baju khusus itu memasuki ruangan ICU yang Hera tempati.
Wajah pria paruh baya itu digelayuti rasa lelah dan sesal yang amat ketara.
"Bian..." sapanya sembali mengelus surai tebal Sang Putra.
Bian tak sedikitpun mengangkat kepala. Bahunya bergetar kecil, ia masih menangis.
"Jangan terus menangis, nak. Papa tau kamu menyesal. Tapi jangan begini." Beliau berujar lembut, masih mengusap surai Bian penuh sayang.
Matanya menjelajah, menemui seraut wajah damai putrinya yang dihiasi masker oksigen.
Papa merasa dadanya memberat.
Dia memejamkan matanya, memilih berjalan menuju sisi kanan Sang Putri, tepat berada di seberang Bian.
"Mama belum bisa masuk. Ia masih terus menangis dan belum bisa mengendalikan diri atas informasi yang tadi diberitahukan dokter." Papa berujar tiba-tiba. Tangannya tergerak mengusap kepala Hera lembut.
"Papa tau kamu dengar berita itu juga, Bi."
Bian mengangkat kepalanya kini, menatap wajah Papa yang sendu.
"Kita selama ini jahat sekali ya, Bi? Papa membiarkan Hera merasa sendirian. Bahkan dia sampai tak percaya pada kita untuk menceritakan rasa sakitnya." suara Papa pecah seiring kalimat yang ia ucapkan.
Bian tertegun, menatap Papanya yang kini menarik napas dalam. Cowok itu sedikit terkejut kala melihat Sang Papa yang untuk pertama kalinya tampak rapuh.
Hening menguasai.
Papa masih mengusap rambut Hera lembut, matanya berkaca-kaca melihat rupa Sang Putri yang sangat menyedihkan, sangat jauh berbeda dibanding saat gadis itu berhasil membuatnya bangga dengan semua prestasi yang berhasil ia dapatkan.
Mata Papa terpejam seiring dengan hatinya yang terasa seperti tertusuk sembilu.
"Kenapa kamu simpan sendirian, nak? Apa yang menyebabkan kamu tidak mempercayai Papa dan Mamamu?" Papa berujar lirih. Hatinya masih berdenyut saat mengingat kalimat dokter tadi.
"Saya sudah mencoba membujuk Hera agar memberitahukan kondisinya pada kalian, tetapi Hera menolaknya."
Papa menarik napas, ia mencoba kembali menguatkan hatinya. Ini bukan saatnya dia mengharap jawaban. Ini saatnya ia fokus terhadap kesehatan Hera yang semakin menurun.
Hening lagi.
Papa fokus dengan pikirannya, sementara Bian terdiam karena mempertimbangkan sesuatu.
Hingga tak lama kemudian, Bian menghela napas sebelum akhirnya memanggil Papa lirih.
"Pa..."
Papa menatapnya.
"Tadi Papa tanya, kan, kenapa Hera gak percaya kita?"
Mata Papa melebar, dia mengangguk kecil.
"Itu karena kita, Pa. Itu karena sikap kita ke Hera selama ini."
Kali ini, kedua alis Papa bertaut, bingung. "Maksud kamu apa, Bi?" tanyanya.
Bian menarik napas sekali lagi, meyakinkan diri. Dia berusaha membicarakan hal yang selama ini membuat Hera sakit hati.
Bian ingin mencoba memperbaiki situasi.
Agar... Hera... mau kembali.
Andai saja gadis itu mau memaafkan semua orang.
Andai gadis itu berbesar hati untuk memberikan semua orang kesempatan.
Andaikata adiknya itu masih mau memberikan Bian kesempatan untuk menjadi kakaknya yang baik.
"Apa Papa ingat, selama ini Hera selalu bertanya hal-hal yang gak masuk akal?" Bian mencoba memancing.
Melihat raut wajah Sang Papa yang masih terlihat bingung, Bian menghela napas, "Papa dan Mama bilang, Hera sering menanyakan hal-hal yang aneh kan? Dia sering nanya kenapa Papa dan Mama gak marahin dia, kenapa kalian gak nelponin dia?" jelasnya.
Papa kini mengerti, beliau mengangguk kecil.
Suara Bian pecah kala melanjutkan ucapan, "Papa tau kenapa Hera begitu? Itu karena Hera rasa, Papa dan Mama gak sayang dia."
Papa tertegun, alisnya menukik kala dia berujar dengan nada dingin, "Bagaimana bisa dia menyimpulkan begitu?"
Bian menarik napas, berusaha menormalkan sisi emosional nya. Dia sudah menduga reaksi Papa akan begini. Jadi dia harus menjelaskan dengan sejelas-jelasnya, tanpa melibatkan sisi emosionalnya.
"Karena semua teman perempuan Hera selalu dapat rentetan pertanyaan dari orangtua mereka kalau mereka pulang telat, karena teman perempuan Hera selalu dimarahi bahkan dijemput kalau mereka tidak mengabari keluarganya. Karena semua teman perempuan Hera di tanya-tanya setiap mereka izin keluar, Pa."
Raut wajah Papa mengendur kini. Terganti oleh raut sendu yang kental.
"Dan Papa pasti bisa menyimpulkan alasan Hera gak percaya kita setelah apa yang Bian sampaikan, kan, Pa?"
Papa menutup matanya, tepat dengan setetes air mata yang keluar dari sudut matanya. Dia kembali menatap Hera penuh penyesalan.
"Hera, maafin Papa dan Mama, sayang. Maafin kami yang terkesan gak peduli ke kamu, nak." ujar Papa bergetar.
"Maafin Papa yang melupakan fakta bahwa kamu adalah anak Papa yang paling banyak berpikir. Maafkan Papa dan Mama yang gak memaksa kamu bercerita karena mengira kamu lelah. Maafkan Papa dan Mama yang berpikir tak perlu bertanya karena kamu bisa dipercaya. Maafkan Papa dan Mama yang terkesan tidak peduli, nak..."
"Tapi asal kamu tau, Papa dan Mama sayang kamu, Hera. Kami menyayangi kamu melebihi apapun."
"Karena kamu dan Bian adalah anak Papa dan Mama yang sangat membanggakan, sayang."
Bian mengalihkan pandangannya, tak sanggup melihat Papa yang kini terisak.
"Sekarang bangun ya, nak. Beri Papa dan Mama kesempatan. Kami akan berusaha jadi orangtua yang selama ini kamu bayangkan, sayang. Kami akan lebih memperhatikan kamu. Bangun ya, Hera..."
***
Hai world.
Gila, ini agak gaje gk sie.
Aku suka heran kok BISA BISANYA KALIAN BACA INI 😭😭😭
ya Allah malu.
ini tuh gaje banget, bujubuset.
TAPI MAKASIH BANGET LOH LOVE. MAKASIH UDAH MAMPIR HUHU.
btw, soal tps susah ya.
DUH BUAT YANG ADA REKOMENDASI SOAL SOAL TPS, MAU DONG 😭😭😭
AKU MAU LATIHAN HUHU
capek banget dah. mana aku lagi malesan banget HUAAAAAA
duh udah deh, jadi curcol.
Salam
inggitariana
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay [LENGKAP ✓]
Short Story"Bang, tau gak, gue sebel banget masa, tadi gue di omongin dari belakang sama Clara! temen baik gue sendiri!" "Ah, Lo yang salah kali. Gak mungkin Lo diomongin tanpa sebab, kan." "Tapi bukannya harusnya dia langsung ngomong ke gue kalo dia emang tem...