Hari ini hari keempat sejak Hera tersadar.
Seperti biasa, di samping gadis itu ada Bian yang menemaninya di ruangan.
Bedanya, kali ini Bian sedang tak gabut. Di hadapannya ada setumpuk kertas dan sebuah laptop yang menyala. Iya, dia sedang membuat skripsi.
Mengingat kondisi sebelum Hera koma, judul skripsi yang diajukan cowok itu sudah di acc. Dia jadi sibuk.
Hera menghela napas melihat hal itu.
Dia bosan, tapi enggan mengganggu Sang Kakak yang terlihat sibuk.
Dia baru saja memutuskan untuk merebahkan diri kala pintu ruangannya terbuka.
Itu Mama.
"Hai Heraaaa! Mama datangg!" sapa wanita itu bahagia.
Hera tertegun sesaat, dia tak biasa melihat sisi Mamanya yang ceria begini, mengingat dulu dia dan Mamanya jarang memiliki waktu berdua. Namun, walaupun Hera terkejut, dia akhirnya melebarkan senyum. "HAI JUGA MAMA CANTIKKK!" balas Hera semangat.
Mama terkekeh, dia menghampiri Hera dan menariknya ke dalam pelukan. "Huh, Mama kangen banget, padahal semalam ketemu." keluhnya.
Dalam pelukan hangat Sang Mama, Hera tersenyum kecil. Lantas, setelah pelukan keduanya terurai, Hera segera bertanya penasaran, "Loh Mama gak kerja?"
Mama tersenyum jumawa, "Mama bolos, dong!" Beliau melirik Bian yang menatapnya dan Hera. "Ada yang bilang anak gadis Mama gabut." katanya. "Nah karena Mama bosen jadi bos taat aturan, Mama bolos aja, deh!" lanjutnya riang.
Hera terkekeh geli, sedangkan Bian mendengus melihat tingkah abstrak Sang Mama.
"Oh iya, biar kita bebas ngobrol-ngobrol tanpa ditegur orang yang lagi skripsian, ayo kita jalan-jalan ke taman!" Mama berujar ceria lagi.
Wanita itu menyiapkan sebuah kursi roda yang memang disediakan untuk Hera karena tubuh gadis itu yang masih kaku.
Bian bangkit, hendak membantu, tetapi Mamanya serta Hera segera menjulurkan tangan dan membuat gerakan mengusirnya, membuat Bian mendengus sebelum akhirnya duduk kembali.
Lantas, dengan berhati-hati, Mama menuntun Hera ke arah kursi rodanya. Kemudian, setelah Hera duduk dengan rapi dan Mama sudah memindahkan infus Hera ke tiang khusus yang ada di kursi roda, mereka berdua segera beranjak pergi.
"Oh iya Hera, gimana perasaan kamu? Pasti bosen ya di ruangan terus?"
Mama bertanya pada Hera di tengah-tengah perjalanan mereka.
Membuat Hera yang baru kali ini merasakan Mamanya lebih dulu membuka obrolan segera menyahut antusias.
"Iya, Ma!" serunya. "Gak asik banget dari kemarin Hera gak boleh keluar ruangan!" sungutnya sebal.
Mama terkekeh, beliau mengusap kepala Hera penuh sayang. "Kan Hera baru sadar, sayang." ujar Mama lembut.
Meski kesal, Hera mengangguk dengan terpaksa.
Hening menguasai lumayan lama setelah itu.
Mama fokus pada jalanan yang akan dilalui kursi roda Sang Putri, beliau takut membuat Hera tak nyaman karena ia kurang memperhatikan jalan.
Sedangkan Hera kini justru ketar-ketir. Pengalamannya selama ini, yang kurang mendapatkan perhatian Mamanya sedikit menimbulkan trauma dalam diri gadis itu, membuat Hera cemas bukan main.
Ia tidak salah kata, kan? Mama diam bukan karena tidak nyaman, kan?
Hera mungkin akan larut dalam lamunannya kalau saja bahunya tak diguncang lembut.
Dia sedikit tersentak, sebelum akhirnya kepalanya menoleh, menatap Mama yang kini melihatnya dengan raut khawatir.
"Hera kenapa, nak? Ada yang gak nyaman, sayang?" tanyanya lembut.
Mendengar itu, sudut hati Hera terasa nyeri. Dia berburuk sangka pada Mamanya.
Tak mau membuat Mama lebih khawatir lagi, Hera segera menggeleng. "Hera enggak apa-apa, Ma. It's okay." katanya lembut.
Mama justru cemberut. Wanita paruh baya itu menerapkan rem pada kursi roda Hera sebelum dirinya beranjak untuk kehadapan Sang Putri.
Mama berlutut, mensejajarkan posisinya dengan Hera. "Mama gak suka kamu gini, Ra." ujarnya.
Hera tersentak, matanya bergerak panik. Dia membuat Mama tak nyaman?!
"Mama gak suka kalau Hera bohongi diri Hera gini."
Lanjutan ucapan Mama membuat Hera tertegun. Dia menatap Mamanya dengan pandangan tak terbaca.
"Jangan bohongi diri kamu sendiri. Akui kalau kamu lagi gak baik-baik aja. It's okay. Tell it. Show it. Gak semua hal harus kamu simpan sendiri, Ra."
Hera mengalihkan pandang, dia enggan menatap mata Mamanya yang menatapnya lembut.
Menghela napas, Mama berujar lagi. "Mama perhatikan, kamu enggak pernah mengeluh ke Mama dan Papa." ujarnya. "Bahkan, kata teman-teman kamu, kamu enggak pernah mengeluh tentang masalah yang kamu hadapi. Hanya bercerita mengenai kejadian gak enak yang kamu alami dan mengekspresikan itu dengan meme. Kamu enggak pernah cerita hal serius, Ra. "lanjut Mama melirih. Jeda sejenak, "Kenapa? kamu gak percaya kami?" tutupnya dengan nada lirih.
Hera tersentak, "B-bukan gitu, Ma!" paniknya. "H-hera cuma--"
"Ah, oke, Hera jujur deh. Tadi, Hera cuma mikir bahwa Mama gak nyaman karena gak ngobrol lagi sama Hera." aku Hera akhirnya. Dia menarik napas berulangkali, menetralisir kegugupan.
Sedangkan Mama yang mendengar itu jadi tertegun. Mendadak merasa bersalah karena mengingat cerita Sang Suaminya kala itu.
Hera pikir dia tak disayangi.
Jadi, Mama hanya tersenyum, dia kemudian bangkit berdiri dan kembali mengajak Hera mengobrol sepanjang jalan.
"Mama itu sayang banget sama kamu, Ra." Mama tiba-tiba berujar random.
Hera sempat tertegun, dia menyadari bahwa Mama tak secara langsung memberikan balasan atas kata-kata tadi. Mama menunjukkannya secara langsung.
Membuat Hera lagi-lagi membatin dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya.
Tuhan, sekali lagi, terimakasih, Hera bahagia.
- - # - -
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay [LENGKAP ✓]
Historia Corta"Bang, tau gak, gue sebel banget masa, tadi gue di omongin dari belakang sama Clara! temen baik gue sendiri!" "Ah, Lo yang salah kali. Gak mungkin Lo diomongin tanpa sebab, kan." "Tapi bukannya harusnya dia langsung ngomong ke gue kalo dia emang tem...