Mengingat kondisinya, Hera bisa bangun adalah sebuah keajaiban.
Namun, itulah yang terjadi.
Ini sudah hari ketiga gadis itu terbangun, dia sudah dipindahkan dari ICU ke kamar rawat VVIP yang sengaja Papanya pilih sebagai ungkapan rasa syukurnya atas kesadaran Sang Putri. Dan bukan hanya itu, ajaibnya lagi, pemulihan Hera tergolong sangat cepat.
Bahkan, sekarang Hera tengah duduk di brankarnya, di hadapannya, ada meja khusus tempat makanan diletakkan.
Dia baru memakan beberapa suap bubur kala suara dengusan terdengar.
Hera melirik, menemukan seraut wajah Bian yang sejak tadi cemberut.
Menghela napas, Hera meletakkan sendoknya, kemudian bersandar pada tempat tidurnya yang disesuaikan dengan posisinya yang duduk.
Hera menatap Bian intens, sebelum akhirnya melengos kala Bian membalas tatapannya dengan raut wajah cemberut, sok lucu.
Hera kembali menatap Bian, kali ini dia menarik napas singkat sebelum akhirnya berujar dengan nada geli. "Lo aneh, Bang."
Bian mendengus. "Apanya yang aneh dari pengen nyuapin adek sendiri?!" ngegasnya.
Hera tersentak, sebelum akhirnya ikut mendengus. "Lo udah nyuapin gue kemaren lusa ya, anjir." sungutnya.
Mata Bian membelalak, sebelum akhirnya menyendu dengan raut wajah sok terkejut. "Lo udah bisa ngumpat, ya. Padahal gue mau ngumpatin Lo aja gak tega..." katanya.
Hera melengos, "Jijik gitu gak sih??" tanyanya sarkas.
Bian menarik bibirnya kedalam satu garis lurus setelah mendengar itu, sebelum akhirnya ia kembali memasang wajah memelas, "Ih, Hera... gue suapin, ya? Gue cuma pengen deket sama Lo... Apa yang salah dari kakak yang pengen deket sama adiknya, sih?"
Melihat itu, Hera mengalihkan pandangannya, dia nyaris luluh oleh tatapan mata memohon dari Sang Kakak. "Tapi sejak gue sadar, Lo gak pernah pergi, kan? Bahkan seingat gue pas hari pertama gue sadar, tangan gue sama sekali gak Lo lepas, bahkan saat ada dokter yang nge check." Jeda sejenak, Hera menatap wajah Bian yang kini makin suram, "Gue seneng banget Lo jadi perhatian gini, tapi kalo keterusan, badan gue bakal kaku, tau? Lo denger sendiri kata dokter kemarin, gue jadi susah gerak karena kom--"
"Ck, gue tetep mau nyuapin!" Bian memotong ucapan Hera sesaat sebelum gadis itu berhasil mengucapkan kata koma. Bian sendiri memang terlihat agak trauma dengan kalimat itu setelah melihat adiknya tertidur selama empat hari.
Hera mendelik, "Ih, enggak! Gue mau makan sendiri!"
"Gue suapin, Heraaaa!" Bian bersungut-sungut sebal.
Tak mau kalah, Hera membalas keras kepala, "Mau makan sendiri, Abanggg!"
"Abang suap--"
"Kenapa ini? kok debat?"
Baru saja Bian akan membalas ucapan Hera, ucapannya terpotong oleh suara Sang Papa yang baru saja masuk ruangan.
Melihat itu, Hera tersenyum lebar, merasa akan menang debat dari Sang Kakak. "Ininih Pa, Abang keukeuh mau nyuapin Hera, padahal Hera mau makan sendiri." adunya.
Alis Papa naik sebelah mendengar itu. "Terus, debat, gitu?" tanyanya.
Hera dan Bian mengangguk bersamaan dengan semangat.
"Iya, soalnya Hera ngeyel!"
"Iya, soalnya Abang ngeyel!"
Balas mereka kompak.
Papa mendengus geli, sebelum akhirnya menghampiri anak gadisnya dan mengusap kepalanya lembut. "Udah-udah, Papa yang suapin aja deh kalo gitu." ujarnya santai, tak memperdulikan Bian yang jadi mendengus sebal, dan Hera yang ternganga kecil melihat tingkah Papanya.
Walau tak urung, setelah Papanya berujar demikian, Hera harus mati-matian menahan kedua ujung bibirnya yang nyaris tertarik dan menciptakan senyuman lebar.
Tuhan, Hera bahagia.
- - # - -
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay [LENGKAP ✓]
Short Story"Bang, tau gak, gue sebel banget masa, tadi gue di omongin dari belakang sama Clara! temen baik gue sendiri!" "Ah, Lo yang salah kali. Gak mungkin Lo diomongin tanpa sebab, kan." "Tapi bukannya harusnya dia langsung ngomong ke gue kalo dia emang tem...