Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Bian bahwa dia bisa nyaris gila karena kehilangan Sang Adik.
Selama ini, hubungan keduanya terbilang cukup buruk.
Tidak ada sapaan basa-basi, tak ada candaan, juga tak ada saling dukung antara keduanya.
Mereka tinggal satu atap, tapi tidak ada ikatan kasih sayang satu sama lain. Mereka hanya bertegur sapa apabila sangat terdesak. Mereka saling bicara hanya jika ada kepentingan.
Apalagi, mengingat kondisi dimana mereka sama-sama memiliki kesibukan.
Bian dan Hera tumbuh dengan renggangnya ikatan adik-kakak diantara mereka.
Bahkan, jujur saja, Bian sempat mengharapkan Hera untuk hilang selamanya.
Tapi, itu dulu.
Dulu, saat Bian tak tau seberapa berharganya Hera untuknya.
Dulu, saat Bian tak sadar seberapa terluka Adiknya.
Dulu, saat Bian masih buta dan tak mengerti apa yang adiknya alami.
Dulu, saat Bian tak mencoba mengenal adiknya.
"Bi!"
Bian tersentak kala seruan bernada tinggi itu memasuki telinganya.
Bian mengerjap, matanya memindai sekitar, menemukan raut-raut khawatir yang kini ditunjukkan para sahabatnya.
Ah, Bian lupa. Dia kan sedang kedatangan para sahabatnya. Katanya, untuk menemani Bian yang selama nyaris seminggu ini tampak seperti mayat hidup.
"Hm," Bian hanya berdehem sebagai sahutan. Dia harus bereaksi, atau teman-temannya akan semakin panik.
"Jangan ngelamun, Bi."
Suara Dito, salah satu sahabat Bian itu membuat Bian tersenyum miris.
"Sorry," Balas Bian datar.
Teman-teman Bian menghela napas mendengar itu. Bian... benar-benar berubah.
"Udah sore," Bian tiba-tiba menyeletuk. Matanya menatap kaca jendelanya yang menampilkan langit sore dengan semburat jingga kemerahan. Indah, kesukaan Hera. Bian sempat-sempatnya membatin sebelum kembali melanjutkan ucapannya, "Lo orang gak ada niatan balik?"
Mendengar usiran keras Bian itu, keempat sahabatnya mendengus kecil, mereka bangkit satu-persatu. "Iye, kita balik, nih." Dito berujar keki.
Kali ini, keempat orang itu beranjak pergi. Walau sebelum benar-benar pergi, Cakka, sahabat Bian yang lain, menoleh, menatap Bian penuh arti. "Jangan kebanyakan minum obat, Bi. Gak baik." katanya. Setelah itu, dia melanjutkan langkah, tak memperdulikan Bian yang tampak syok.
Bagaimana... Cakka bisa tau?
- - # - -
Bian tak tau harus bersyukur atau bersedih.
Ini sudah lebih dari satu Minggu adiknya berpulang.
Ah, lebih tepatnya, sudah hari kesepuluh Hera pergi.
Bian sudah kembali kuliah, tetapi, skripsinya sudah di- acc. Dia sudah tidak ada kegiatan. Dia sudah nganggur.
Dan, justru itu lah yang Bian bingungkan.
Bian... harus senang, atau... sedih, ya?
Bian sudah menyelesaikan studinya. Dia sudah berhasil menyelesaikan skripsinya. Itu membuat Bian bersyukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay [LENGKAP ✓]
Short Story"Bang, tau gak, gue sebel banget masa, tadi gue di omongin dari belakang sama Clara! temen baik gue sendiri!" "Ah, Lo yang salah kali. Gak mungkin Lo diomongin tanpa sebab, kan." "Tapi bukannya harusnya dia langsung ngomong ke gue kalo dia emang tem...