10 : Tutup Mulut

57K 6.4K 134
                                    

Seminggu berlalu sejak Hera ke rumah sakit kala itu.

Waktu itu, setelah ia menceritakan gelaja yang ia alami, dia diperintahkan untuk memeriksa kondisi tubuhnya secara fisik maupun melalui proses pemeriksaan darah dan aspirasi sumsum tulang.

Dokter juga sempat menanyakan apa selama ini Hera sering demam, kelelahan, nyeri tulang, serta mual dan muntah.

Sesuatu yang sempat membuat Hera ketar-ketir. Soalnya... jujur saja, selama ini dia selalu mengalami itu semua. Dia mengalami semua gejala itu sejak SMP. Hanya saja, selama ini saat merasakan itu semua, dia selalu mengira bahwa dia hanya menderita asam lambung dan anemia yang sering kambuh karena jadwal sekolahnya yang padat. Tidak lebih. Dia juga tak pernah memeriksakan diri ke rumah sakit.

Hari itu adalah pertama kalinya Hera ke rumah sakit. Dan setelah mendengar nada bicara yang digunakan dokter itu, Hera jadi gugup bukan main.

Dirinya... baik-baik saja kan?

Hera mengangguk yakin. Dia pasti baik-baik saja. Katanya dalam hati. Dia menghela nafas. Memantapkan hati, Hera segera pergi dengan sepeda motornya menuju ke rumah sakit.

Ya, dia baru saja diberi kabar bahwa hasil pemeriksaannya sudah keluar. Dan dia harus ke rumah sakit untuk mengambilnya.

Sebenarnya, ada hal yang sedikit mengganjal hati Hera.

Tadi... dokter itu menyarankan agar Hera didampingi keluarga. Namun, dokter itu mengelak kala Hera menebak kalau dia mengalami sakit parah hingga harus didampingi keluarga.

Tapi... untuk apa Hera harus didampingi keluarga kalau dia baik-baik saja, kan?

Itulah sebab mengapa Hera tetap nekat ke rumah sakit sendirian kini.

Berbekal uang tabungannya --yang tidak bisa disebut sedikit karena dia sering mendapatkan hadiah dari lomba-lomba yang ia ikuti serta kondisi perekonomian keluarga Hera yang dapat dikatakan lebih dari cukup-- Hera nekat ke rumah sakit sendirian. Ingat, dia sudah berjanji tak akan merepotkan siapapun lagi.

Jadi, setelah melewati beberapa saat di perjalanan, di sini lah Hera sekarang. Duduk di dalam ruangan serba putih di salah satu rumah sakit ternama di Kotanya.

Di hadapannya, ada sesosok wanita --yang mungkin berusia 27 tahun-- menatapnya dengan tatapan tak terbaca.

"Dimana keluargamu, Hera?" tanyanya.

Hera menggeleng kecil, "Mereka tak ada waktu, Dok." alibinya. "Saya saja tidak apa-apa. Saya bisa kok." lanjutnya keukeh.

Dokter itu mengerti. Gadis dihadapannya ini pasti memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarganya. Terlihat dari pancaran matanya yang terluka, berbanding terbalik dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Menarik nafas, Dokter itu mengulurkan dua buah berkas hasil pemeriksaan.

Dia memberikan waktu bagi Hera untuk membacanya.

Beberapa saat setelah gadis itu selesai membaca, ia mendongak, menatap Sang Dokter dengan pandangan linglung.

"Acute lymphoblastic leukemia stadium 3...?" tanyanya gamang.

Dokter itu, Dokter Rania mengangguk kecil.

"Tapi... bagaimana bisa, Dok? saya tidak pernah mengalami benjolan di tubuh saya... b-bagaimana b-bisa..."

Rania menarik nafas dalam, sebenarnya dirinya tak tega melihat kondisi Hera, tetapi gadis itu yang bersikeras. "Maaf Hera." dia berujar sendu. Dirinya bangkit, berjalan ke arah Hera yang duduk di depan meja tugasnya.

Setelah sampai di hadapan Hera, Rania perlahan menyibak rambut Hera, dia menuntun tangan Hera untuk menyentuh salah satu spot di lehernya.

"Sekarang, kamu merasakannya kan?" tanya Rania sendu.

Tubuh Hera mengkaku. "T-tapi b-bagaimana b-bisa, b-bagaimana--".

Rania yang tak tega segera menarik remaja itu ke dalam pelukan. "Tenang Hera, tenang. Kamu masih bisa sembuh." ujarnya. "Coba komunikasikan ini pada orangtuamu, setelah itu segeralah mulai rangkaian pengobatan mu." lanjutnya pilu.

Hera yang kini seluruh tubuhnya bergetar hebat di pelukan Rania menggeleng kecil. "T-tidak Dok. Saya tidak mau." katanya.

Rania terkejut. Dia melepaskan pelukannya dengan Hera untuk menatap wajah remaja itu. Wajah yang walau jelas menampilkan kehancuran tapi ajaibnya tak ada satupun air mata di sana.

"Maksud kamu apa Hera?"

Hera tersenyum tipis. Menggeleng kecil, menolak menjawab.

Dia segera bangkit, tak lupa dia mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya keluar dari ruangan Rania.

Di perjalanannya, Hera menjawab pertanyaan Rania tadi dalam hati.

Hera tak akan memberi tau siapapun mengenai ini.

Dia... tak mau lebih menjadi beban kehidupan orang-orang disekelilingnya.

***

Susah emang orang modelan Hera teh.

Salam
inggitariana

It's Okay [LENGKAP ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang