1. Si Anak Asem

368 85 76
                                    

Kalau bisa, aku ingin menggaplok takdir. Akan kuajak dia ke medan tinju, beradu jotos di atas ring, dan menang telak sebab wasitnya kusogok. Itu kalau bisa, tapi asem tentu saja protagonis tak akan dapat keinginannya dengan mudah. Walaupun aku pernah dengar kalau susah bukan berarti tak bisa diusahakan, tapi hidup saja sudah malas, usaha pun aku tak mau lagi.

Klakson bising dari sekumpulan mobil kampret mengusik. Ingin rasanya kubanting satu-satu kendaraan di belakang. Tapi karena malas, tak jadilah. Barang secolek tahi ayam pun aku tak mau buang-buang waktu untuk hal yang tak berguna macam itu. Nah, kalau kau protes ngapain aku ada di pinggir jembatan ini, aku mau buang-buang nyawa.

Aku melirik ke kiri dan kanan. Kendaraan di atas jembatan ini melaju dengan cueknya. Udara pagi memang menyegarkan, bagi orang berduit tentunya, bagi orang susah nan melarat sepertiku hanya bisa meratapi hidup. Tak apalah, begitu aku loncat dari sini, kebebasan akan menanti di neraka sana.

Ampas, harusnya saat-saat menikmati proses bunuh diri ini, aku harus rileks. Mengapa lututku bergetar lemas sementara badanku menegang? Aku menjejal napas dan memuntahkannya.

Dengan kesadaran penuh dan kekesalan akan ketidakadilan dunia, aku naik ke pagar pembatas jembatan, menyeimbangkan diri untuk menikmati belaian angin di saat terakhir. Oh, nikmat, tapi setan saja kalau aku peduli dengan hidup. Aku memantapkan pijakan ke sisi-sisi jembatan, kemudian merentangkan tangan dan memejamkan mata.

Di usia yang hampir kepala tiga ini, aku belum mengambil bini. Kalau bukan tak ada yang mau, berarti aku selalu ditolak. Bagaimana kewajaran ini terjadi, tak lain disebabkan oleh kemelaratanku. Makan sehari sekali kalau ada nasi, sisanya puasa dan berbuka dengan air yang tak berasal-usul. Badan kurus serupa ranting ini tak kuat jika dibawa kerja keras, pernah kucoba sekali dan berakhir patah tulang, soalnya.

Aku tak mau menadah tangan dan meminta. Biarlah aku mati dengan salto depan dari sini ke bawah sana daripada harus begitu. Setidaknya ada kerennya dikit.

Dalam mode kelaparan begini, hobiku memang melantur. Selintas pilihan bunuh diri ini pun datang dari negeri setan yang entah dimana. Dan entah bagaimana pula aku turuti. Nanti, satu nyawa sampah negara bakal hilang, tak merugikan memang … tapi tak menguntungkan juga.

"Huaaaaaa …!"

Aku menoleh ke kanan. Seorang bocah menggosok matanya dengan keras, ingus dan air mata mengadon di baju hijau serta wajahnya. Bocah yang nampak seumuran dengan anak janda warkop tempatku sering ngutang. Aku bergidik, jin atau malaikat? Persetan, keduanya tak akan bisa menghalangi tekadku untuk mati. Napas tertarik pelan, otot tegang mengendur. Namun sedetik kemudian, tangis pecah lagi.

"Woy, anak asem! Nangis di sana aja! Itu mata jangan digosok terlalu keras, nanti rusak, ngabisin duit mamakmu buat beli obatnya."

Tangis makin kencang. Kendaraan yang berlalu lalang mulai membuatku was-was. Nanti aku bakalan dituduh penculik bejat dan akan digebuk masa. Aku mau mati sendiri, tak mau merepoti tenaga dari tinju orang lain.

"Woy, anak asem! Udah berenti nangis napa?"

"Dari tadi manggil yang nggak bener, sebut nama napa!"

Oh, hidup sudah tak kupedulikan, apalagi remah temeh macam dikau.

"Daripada Om berdiri bego di atas situ, mendingan bantuin aku!"

Eh? Apa dia bilang? Apakah emak-bapaknya tak menyempatkan mendidik anak ini dengan asupan sopan santun, istiadat serta adat, akidah dan akhlak, juga sebuah seni untuk bersikap bodo amat dan tak mengusik hidup orang lain?

"Dek, aku mau bundir inih, tolong jangan ganggu." Aku menghela napas dan memejamkan mata untuk yang ketiga kalinya.

Dan si kampret berteriak lagi, untuk yang ketiga kalinya.

"Maumu apa sih, Asem?" Aku turun dan menyumpal mulut anak itu dengan saputangan kumal.

"Om bego, tolongin, plis!" Anak Asem melepas saputangan dari mulutnya, kemudian menerbangkan benda hasil pungutanku itu ke sungai deras di bawah sana.

Aku cuma bisa melongo. Tak ada sopan santun begini, maksa-maksa lagi. Kuyakin ini adalah hasil kemanjaan yang diberi emak-bapaknya selama hidupnya. Dari pakaiannya, tentu saja sudah kelihatan kalau dia ini berduit. Kesampingkan hingus dan tangis yang bercampur. Bajunya, jam emasnya, sepatu mengkilapnya, celana yang masih kelihatan barunya. Kecuali aku culik dan jual tetanggaku, aku tak mampu beli outfit begini.

"Dek, sopan-santun itu perlu. Tata krama lebih bernilai dari apa pun."

Aku berbalik. Ogah banget meladeni manusia yang macam begitu. Baiknya aku bunuh diri di lain tempat. Ketika kanan dan kiri sudah kosong, aku menyeberang sembari meraba kantong kucelku. Isinya cuma duit seratus perak, rokok yang setengah basah, korek bekas punya penadah sampah. Kukeluarkan korek dan rokok, lalu menjepit rokoknya di bacot.

"Om, jangan ngerokok deket anak kecil."

Astaga! Kenapa cecurut ini membuntuti segala? Kumasukkan lagi rokok dan korek ke kantong semata wayangku. Aku mendapati si Anak Asem yang membulatkan mata. Cewek atau cowok, aku tak peduli. Dari potongan rambut yang macam mangkok dan muka polosnya, susah membedakan apakah dia berlubang atau berbatang.

"Tuli kah? Atau kerasukan setan budek? Jauh-jauh sana. Main di mana kek."

"Namaku Faili. Aku lagi nyari anjing."

"Dek, berapa tahun itu kuping nggak dikorekin?"

Sejenak dia mematung, sedetik air mukanya berubah, sejurus kemudian tangisnya pecah. Aku kelabakan. Di depan sana ada motor hitam sedang berbalik arah, berhenti di dekat kami, dan pengemudinya turun. Tanpa melepas helm ataupun permisi, aku ditonjok.

***

Eits, jangan protes dulu soal saya yang sering publish cerita tapi jarang ditamatin(atau gak pernah malah :v). Saya dah coba namatin cerita sebelah. Ada tapinya, tapi. Cerita sebelah dapat banyak distraksi, salah satunya adalah cerita ini. Sambil nyicil dikit2 cerita sebelah, saya tulis cerita ini. Cerita yang ringan. Tapi gak papa, itung2 tamatin satu karya di sini. Dan untuk pembaca, selamat datang!

Part selanjutnya besok.

Gara-Gara Anjing![END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang